Yuyun berharap pemerintah dan industri harus mengambil tindakan nyata untuk menghentikan pembukaan hutan dan pengeringan gambut untuk perkebunan.
Karena kedua hal itu lah yang menjadi penyebab utama kebakaran hutan yang mengakibatkan paparan asap yang akhirnya dihirup masyarakat sekitar. "Jika tidak ada perbaikan, asap yang mematikan ini akan menyebabkan angka kematian yang lebih mengerikan dari tahun ke tahun," katanya.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sandrayati Moniaga mengatakan kabut asap yang mengakibatkan kematian itu melanggar hak seseorang atas kesehatan. Sandra menilai pemerintah lalai dalam melindungi masyarakat. "Koordinasi antar lembaga masih kurang dalam tangani asap," katanya.
Menurut Sandra, selama ini pemerintah biasanya baru melakukan tindakan evakuasi bila kondisi udara sudah berada di status bencana. Kondisi yang sudah berstatus bencana, kata Sandra, pasti kondisinya sudah parah. "Harusnya langsung dievakuasi bila sudah mencapai baku mutu udara tertentu," katanya.
Ia pun berharap pemerintah tidak hanya fokus pada perusahaan atau pembakar hutan, namun juga upaya kesehatan yang dialami korban bencana kebakaran hutan dan lahan. Masyarakat korban kebakaran hutan yang berada di pelosok kemungkinan tidak paham dalam membuat rumah sehat. "Kemungkinan mereka juga tidak paham berapa ukuran udara yang dianggap berbahaya bagi manusia," katanya.
Anggota Ikatan Dokter Indonesia Kalimantan Barat Nursyam Ibrahim belum bisa memastikan hasil penelitian itu karena tidak tahu berapa orang yang meninggal setelah sepulang dari rumah sakit karena infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).
Yang ia tahu terjadi lonjakan pasien penyakit ISPA di rumah sakit kawasan kebakaran hutan, khususnya Kalimantan Barat. "Lonjakan jumlah pasien ISPA bisa sampai 2-3 kali lipat dengan kondisi sedang dan parah karena menghirup asap kebakaran hutan," katanya.
Menurut Nursyam, partikel 2,5 PM yang masuk ke tubuh dan menempel di paru paru akan hilang dalam 5-10 tahun. Bila selama 3 bulan secara masif seseorang terpapar zat itu dan tidak bisa menghindarinya, tentu akan memperparah kondisi seseorang khususnya golongan lansia, ibu hamil dan juga anak.
Nursyam berharap penelitian itu bisa menjadi sentilan bagi pemerintah untuk mempercepat penanganan korban kebakaran hutan. "Sebaiknya penelitian itu dikembangkan dan didalami lagi oleh pemerintah sebagai perbandingan," katanya.
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Mohamad Subuh mengaku tidak yakin dengan hasil penelitian itu. Menurutnya hitunganan statistik saja tidak tepat untuk menyimpulkan kematian sedemikian besar. "Untuk data kematian, Indonesia sudah punya sistem pencatatan dan pelaporan dari tingkat RT, kelurahan, provinsi, hingga tingkat pusat," katanya.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan MR Karliansyah menghargai hasil penelitian itu. Namun timnya sudah melakukan upaya pengendalian asap sesuai aturan yang berlaku pada kejadian kebakaran hutan tahun lalu.
Karliansyah menambahkan timnya tahun ini akan memasang sensor udara 2,5 PM di kawasan rawan kebakaran hutan Jambi, Palembang, dan Palangkaraya. "Target kami akhir Oktober ini sensor udara itu sudah terpasang, sehingga masyarakat bisa terukur kadar kesehatan udaranya," katanya.
MITRA TARIGAN