TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek mengaku belum mengetahui mengenai informasi adanya aliran uang dari perusahaan farmasi kepada dokter. Bahkan ia mengaku baru mengetahui informasi tersebut dari pemberitaan di media massa. “Saya baru tahu dari running text,” kata Nila di kantor Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Jumat, 16 September 2016.
Nila mengatakan belum ada laporan resmi yang masuk ke Kementerian Kesehatan terkait dengan temuan tersebut. Namun, kata dia, tidak lazim jika ada dokter yang menerima uang dari perusahaan farmasi. Ia juga mengatakan lembaganya tengah menelusuri laporan terkait dengan aliran uang dari perusahaan farmasi kepada dokter tersebut.
Ketua KPK Agus Rahardjo yang pertama kali membeberkan adanya aliran uang dari perusahaan farmasi kepada dokter ini, Kamis kemarin. Agus mengatakan KPK menerima laporan ada sebuah perusahaan farmasi yang mengirim uang hingga Rp 800 miliar kepada dokter selama tiga tahun terakhir. Laporan itu diterima KPK dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Menurut Agus, laporan pemberian uang tersebut hanya dari satu perusahaan dari sekian banyak perusahaan farmasi. Ia juga mengatakan perusahaan farmasi itu tidak terlalu besar. Agus menilai laporan tersebut belum mencerminkan keseluruhan perusahaan farmasi.
Pengeluaran pabrik farmasi itu mencerminkan besarnya belanja kesehatan. Menurut Agus, berdasarkan penelitian lembaganya, belanja kesehatan Indonesia mencapai angka 40 persen. Padahal belanja kesehatan di negara lain cenderung rendah, seperti di Jepang yang hanya 19 persen dan Jerman sebesar 15 persen.
Temuan PPATK itu sejalan dengan hasil investigasi majalah Tempo yang menguak dugaan praktek gratifikasi di dunia kedokteran. Akhir 2015, majalah Tempo membongkar dugaan praktek kolusi antara perusahaan farmasi Interbat dan sekitar 2.000 dokter dengan judul tulisan “Fulus Diskon Perusahaan Obat”.
Hasil investigasi itu, angka transaksi perdagangan obat menembus Rp 69 triliun. Tempo menemukan angka tersebut diduga terkerek karena perusahaan farmasi mengeluarkan banyak uang untuk dokter, klinik, dan rumah sakit. Tujuannya, agar obat perusahaan itu ditulis oleh dokter ketika membuat resep. Nilai uang yang diduga dikeluarkan Interbat untuk dokter, klinik, maupun rumah sakit mencapai puluhan miliaran rupiah.
KPK dan Kementerian Kesehatan menyikapi hasil investigasi tersebut. Kedua lembaga membuat kesepakatan yang isinya mengatur lebih rinci apa saja yang boleh dan tidak boleh diterima dokter dari perusahaan farmasi. Meski ada kerja sama ini, Nila mengatakan seorang dokter boleh menerima hadiah dari perusahaan obat bila ditujukan untuk pengembangan kemampuan dokter, misalnya untuk kegiatan penelitian.
DANANG FIRMANTO