TEMPO.CO - TAK sari-sarinya Balai Desa Sumantipal, Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, penuh sesak. Awal bulan lalu, ratusan warga Sumantipal berbondong-bondong memasuki rumah panggung dari kayu untuk menyuarakan kegelisahan mereka sebagai penduduk perbatasan. Kebetulan, pagi itu rombongan Badan Nasional Pengelola Perbatasan datang dari Jakarta.
Suasana memanas ketika Julius, salah seorang tokoh pemuda Desa Sumantipal, melontarkan ancaman. “Kalau tidak diperhatikan, kami akan angkat kaki ke Malaysia,” kata laki-laki 33 tahun tersebut di depan forum yang juga dihadiri anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat, Hetifah Sjaifudian, itu.
Desa Sumantipal terletak di tepi
Sungai Simantipal, satu di antara sembilan wilayah perbatasan Kalimantan yang hingga kini masih dipersengketakan oleh Indonesia dan Malaysia.
Julius berharap saling klaim perbatasan tersebut segera diakhiri sehingga pembangunan semakin cepat dilakukan di daerahnya. Tuntutan serupa dilontarkan oleh Ketua Pemuda Penjaga Perbatasan Indonesia dan Malaysia, Paulus Murang. Dia prihatin atas kondisi masyarakat di desa-desa perbatasan. “Pernah saya tanya kepada anak-anak di perbatasan, apa lambang negara Indonesia?” kata Paulus. “Mereka jawab singa atau harimau. Itu kan lambang Malaysia.”
Namun agaknya Julius dan Paulus harus bersabar lebih lama lagi agar harapannya terwujud. Perundingan terakhir antara delegasi Indonesia dan Malaysia akhir bulan lalu berakhir tanpa hasil. Padahal pertemuan di Manado tersebut merupakan perundingan tapal batas ke-9 sejak digelar pertama kali di Bandung pada Juli 2012.
Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Damos Agusman mengatakan perundingan Manado berlangsung alot, terutama dalam urusan identifikasi batas negara di lapangan. “Ini pekerjaan teknis yang kompleks,” kata Agusman.
Suasana di Balai Desa Sumantipal sebelum pertemuan dengan perwakilan Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Rabu, 3 Agustus 2016.
Dia membenarkan perundingan untuk menyelesaikan saling klaim di wilayah Outstanding Boundary Problem (OBP) di Kalimantan berlarut-larut. Sejak 2012, perundingan berfokus pada lima wilayah sengketa di sektor timur, yaitu Pulau Sebatik, Sungai Simantipal, Sungai Sinapad, titik B 2700-B 3100, dan C 500-C 600. Tiga titik sengketa perbatasan yang terakhir juga terletak di Kecamatan Lumbis Ogong.
Kepala Bidang Perencanaan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Makmur Marbun, yang ikut dalam perundingan di Manado, mempersoalkan permintaan Malaysia agar dilakukan survei ulang di wilayah Sungai Simantipal. “Mengapa harus disurvei ulang kalau itu sudah jelas ada patoknya,” kata Marbun.
Serba Terbatas di Perbatasan
BATAS daratan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan memanjang sekitar 2 kilometer dari Tanjung Datu di Kalimantan Barat hingga Tawau di Kalimantan Utara. Garis perbatasan itu merupakan peninggalan garis wilayah kekuasaan Inggris dan Belanda yang menentukan wilayah kolonial lewat penandatanganan The Boundary Convention pada 1891 dan 1928. Kedua negara sebelumnya juga menyepakati tapal batas di Kalimantan lewat The Boundary Agreement pada 1915.
Pada era kemerdekaan, Indonesia sebenarnya telah meneken nota kesepahaman tentang garis perbatasan dengan Malaysia pada 1975. Sejak saat itu, upaya penegasan tapal batas di Kalimantan lewat pemasangan pilar perbatasan mulai dilakukan. Namun sejak saat itu pula sengketa batas wilayah kedua negara berlangsung.
Ketinting atau perahu kayu bermesin tunggal merupakan moda transportasi utama di Desa Sumantipal, Nunukan, Kalimantan Utara.
Meski belum berhasil menuntaskan sengketa wilayah perbatasan, Kepala Bidang Perencanaan BNPP Makmur Marbun mengklaim perundingan di Manado akhir bulan lalu telah menghasilkan komitmen baru. Pemerintah Indonesia dan Malaysia, kata dia, bersepakat mengkaji persoalan sosial dan ekonomi di wilayah OBP. Sebab, saat ini banyak warga negara Indonesia di perbatasan bekerja dan tinggal di wilayah Malaysia.
Kepala BNPP Provinsi Kalimantan Utara Udau Robinson membenarkan soal banyaknya masalah sosial dan ekonomi di wilayah perbatasan. Dia mengibaratkan warga Desa Sumantipal seperti warga Bogor yang bekerja di Jakarta. “Setiap hari berangkat pagi pulang sore untuk mencukupi kebutuhan hidup,” ujarnya. Menurut dia, tak jauh dari desa tersebut, hamparan lahan perkebunan membentang di wilayah Malaysia dan menjadi lapangan pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat.
Julius salah satunya. Dia menghidupi istri dan tiga anaknya dengan bekerja saban hari di perkebunan kelapa sawit di Sabah, Malaysia. Menurut dia, sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia disebabkan oleh terbatasnya akses dan jauhnya jarak desa dari kota.
Sebutlah Kabupaten Malinau, kota terdekat dari Sumantipal. Untuk menuju ke sana, warga desa harus menaiki ketinting selama dua jam menyusuri Sungai Sembakung. Setidaknya diperlukan 200 liter solar untuk menggerakkan perahu kecil dari kayu bermesin tunggal tersebut.
Sedangkan untuk menuju kampung terdekat di Sabah, warga Desa Sumantipal hanya membutuhkan waktu kurang dari
Sejumlah anak Desa Sumantipal berpakaian adat Dayak.
30 menit. Itu sebabnya, menurut Julius, bukan hanya urusan pekerjaan, harga bahan kebutuhan pokok pun lebih murah membeli di Malaysia ketimbang di Indonesia.
Semua kemudahan itu pula yang melatarbelakangi Julius memiliki identity card (IC), kartu tanda penduduk Malaysia. Julius tak sendiri. Kartu serupa dikantongi sejumlah tetangganya. “Kami menyamar saja,” ujarnya. “Karena kami satu suku, satu bahasa.
Menurut Julius, pemerintah Malaysia memberikan jaminan ekonomi bagi pemegang IC. Setiap bulan, dia mencontohkan, ada bantuan ringgit Malaysia senilai Rp 2-3 juta untuk penduduk yang berusia 50 tahun ke atas. Ada juga bantuan pendidikan bagi setiap anak Desa Sumantipal yang bersekolah di Malaysia. Dua anak Julius, misalnya, sekolah di Sabah sehingga berhak menerima uang setara Rp 3 juta per bulan. “Kalau di Indonesia enggak dapat, bahkan kami yang membayar sendiri ongkos sekolah,” ucapnya.
Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Datuk Seri Zahrain Mohamed Hashim, menampik kabar bahwa pemerintah Malaysia memfasilitasi pembuatan IC kepada warga negara Indonesia di perbatasan Kalimantan. “Enggak ada buktilah, kalau ada bukti baru bisa saya laporkan,” ujarnya. Namun dia enggan mengomentari alotnya perundingan OBP. “Saya masih checking."
DANANG FIRMANTO