TEMPO.CO, St Louis - Peneliti menemukan virus zika bisa hidup di mata. Riset Washington University School of Medicine di St. Louis, Amerika Serikat, pada tikus putih menjelaskan penyebab sebagian pasien penyakit tersebut mengalami sakit mata, bahkan beberapa dalam kondisi mendekati buta.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kedokteran Cell Reports pada Selasa pekan lalu itu menyatakan bahwa mata bisa menjadi penadah virus. Seperti ditulis Koran Tempo, Selasa, 13 September 2016, orang yang terinfeksi zika bisa menularkan virus itu kepada orang lain melalui kontak air mata.
Serangkaian penelitian sebelumnya menemukan keberadaan virus zika di dalam darah, urine, mani, liur, dan air susu ibu. Studi baru tentang air mata ini bisa menjelaskan penularan zika dari seorang pria di Utah, Amerika Serikat, ke anaknya.
Pria tua itu meninggal pada Juni lalu setelah melakukan perjalanan ke luar negeri. Adapun anaknya tak ikut bepergian. Nyamuk Aedes aegypti—vektor yang menularkan virus tersebut—pun tak ditemukan di daerah tempat tinggal mereka.
Petugas kesehatan Utah gagal mengungkap penyebab anak yang merawat ayahnya tersebut bisa tertular. Untungnya, sang anak kini telah pulih. "Kasus ini menggambarkan teka-teki yang nyata," kata Rajendra Apte, salah satu penulis senior dalam penelitian tersebut, seperti dikutip dari harian Amerika Serikat, The Washington Post, pekan lalu.
Untuk menemukan dampak infeksi zika pada mata, ilmuwan Washington University menginfeksi tikus putih dewasa. Mereka menemukan bahwa virus tersebut masih hidup di mata tujuh hari kemudian. Setelah delapan hari, virus itu tak ditemukan pada bayi tikus yang lahir dari induk yang terinfeksi. Para peneliti mendapati air mata tikus yang terinfeksi tersebut mengandung materi genetik (RNA) virus zika. Setelah diteliti sampai 28 hari, virus ini tak menular. Namun, menurut Apte, "Ini bisa menjadi cerita yang sama sekali berbeda pada manusia."
Organ mata, dia melanjutkan, memiliki tingkat imunitas yang lebih rendah dibanding bagian tubuh lainnya. Gunanya, menghindari peradangan atau jaringan parut. "Sebab, terlalu banyak peradangan dan jaringan parut tidak baik untuk penglihatan," ujar Apte, profesor bidang mata, oftalmologi, dan spesialis retina. Akibatnya, infeksi kadang masih ditemukan pada mata meski bagian tubuh lainnya sudah bersih.
Contohnya dalam kasus ebola. Dokter asal Amerika, Ian Crozier, yang merawat para pasien pengidap ebola di Afrika Barat saat penyakit tersebut mewabah pada 2014, ikut terinfeksi penyakit ganas ini. Setelah dia dinyatakan bebas dari ebola, jejak virus penyakit itu masih terdeteksi pada matanya selama beberapa bulan kemudian.
Virus zika menyebabkan gejala yang sama seperti demam berdarah dan cikungunya, yakni demam tinggi, nyeri sendi dan otot, serta ruam merah yang menyerupai bentol-bentol kecil akibat alergi. Penderita zika juga akan mengalami konjungtivitis atau mata merah.
NUR ALFIYAH