TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Parahyangan Bandung, Agustinus Pohan, mengatakan Kepolisian RI tak bisa langsung menjerat pidana pembuat aplikasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut Agustinus, penyelidik harus lebih dulu membuktikan adanya niat jahat atau means rea dari para kreator aplikasi tersebut.
"Sesuai Undang-Undang ITE, yang terkena pidana hanya orang yang mengupload dan menyebarkan konten yang melanggar hukum," kata Agustinus saat dihubungi, Senin, 12 September 2016.
Sebelumnya, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Ari Dono mengatakan, lembaganya akan menyasar para pembuat aplikasi prostitusi atau kejahatan lainnya. Sikap ini muncul setelah penyidik menemukan 18 aplikasi prostitusi homoseksual saat menangkap tersangka kasus prostitusi anak di Bogor, Jawa Barat. Kepolisian juga mengirimkan daftar aplikasi tersebut untuk ditindaklanjuti Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Menurut Agustinus, polisi tak bisa menerapkan kebijakan tersebut secara terbuka karena berpotensi menimbulkan keresahkan. Sebab, sebuah aplikasi lahir dan muncul dari proses kreativitas para pembuat atau kreator. Ancaman pidana, kata Agustinus, justru akan mematikan kreativitas dan perkembangan teknologi dalam negeri. "Harus hati-hati atas efek lainnya. Jangan membuat takut, harus jelas arah hukumnya," kata dia.
Agustinus memaparkan, pembuat aplikasi dan penyebar konten yang melanggar hukum tak bisa serta merta dipahami satu orang atau saling mengenal. Para kreator, menurut dia, bisa terkena pidana jika memenuhi kerangka hukum sebagai orang yang turut serta atau turut kerja sama dalam tindak kejahatan.
Pembuat aplikasi masuk dalam kerangka turut serta jika terbukti mengetahui hasil kreasinya akan atau telah digunakan untuk tindak kejahatan. Mereka juga masuk dalam kerangka kerja sama, jika terbukti justru ikut membantu dan menikmati hasil dari tindak kejahatan tersebut. "Kalau dia mengetahui tetapi diam saja dan membiarkan, bisa kena pidana," kata Agustinus. "Tapi ini semua butuh proses tak bisa langsung seperti penerapan pada pelaku penyebar konten."
FRANSISCO ROSARIANS