TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengusulkan empat hal baru tindak pidana terorisme dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengatakan empat usul itu ialah perlindungan terhadap diplomat, penyanderaan, keselamatan navigasi dan penerbangan, serta pendudukan tempat-tempat kontinental, seperti perminyakan dan lepas pantai.
"Usul itu tidak diatur dalam RUU terorisme," kata Yusuf seusai rapat dengan panitia khusus di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, Kamis, 8 September 2016. Selain empat usul itu, PPATK ingin memasukkan pembekuan aset terhadap jaringan terorisme.
Pembekuan aset, menurut Yusuf, dilatarbelakangi resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 12 Tahun 2007. Resolusi itu memuat sejumlah orang dalam jaringan terorisme internasional. Ternyata, dalam daftar itu, ada 18 orang dari Indonesia. PBB pun meminta pemerintah Indonesia membekukan aset-aset mereka.
Yusuf menuturkan pembekuan aset tidak bisa dilakukan. Saat ini upaya pembekuan aset harus melalui proses pengadilan. "Ini kan berat," ucapnya. Untuk memperkuat revisi UU Terorisme, PPATK ingin unsur pembekuan aset dimasukkan.
Dampak tidak dibekukannya aset terhadap jaringan terorisme, kata dia, bisa berujung sanksi dari PBB. Yusuf menyatakan sanksi yang dikeluarkan PBB bisa berupa larangan kegiatan perdagangan, seperti ekspor produk-produk tertentu. "Kami sudah blokir (aset 18 terduga kelompok terorisme)," ujarnya.
Ihwal statusnya, ke-18 nama itu sudah ada yang dihukum, bahkan sudah ada yang meninggal, seperti Imam Samudra. Lebih lanjut, Yusuf menilai, upaya pencegahan aksi terorisme perlu ditekankan di sektor hulu. Salah satunya mengikuti aliran dana. Ia beralasan pelaku teror akan kesulitan melakukan eksekusi bila aliran dana dihentikan.
Dari penelusuran PPATK, saat ini ada empat sumber aliran atau transaksi dana dari dan keluar Indonesia. Keempat sumber itu ialah Australia, negara-negara Timur Tengah, yayasan, dan dana patungan. Instrumen pembayarannya pun baru, seperti paypal dan virtual money. "Undang-undang belum cover semua perbuatan terorisme berdasarkan (aksi) internasional," tuturnya.
Anggota Pansus, Wenny Warouw, menyambut baik usul dari PPATK. Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya ini menilai, bila aliran dana dibiarkan, bukan tidak mungkin aksi terorisme, seperti di Jalan Thamrin, terulang. "PPATK kan yang pertama tahu soal aliran dana," ucapnya. Sedangkan Arsul Sani dari Partai Persatuan Pembangunan berharap tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan undang-undang nantinya.
ADITYA BUDIMAN