TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung telah merampungkan draf Peraturan MA (Perma) tentang Tanggung Jawab Pidana Korporasi. Peraturan itu akan menjadi landasan untuk menindak korporasi yang diduga terlibat dalam kasus korupsi. "Sudah," kata Hakim Agung MA Surya Jaya di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis, 8 September 2016.
Surya hari ini mendatangi Gedung KPK untuk membahas Perma tersebut. Meski telah rampung, Surya mengatakan draf PERMA itu belum ditandatangani, namun ia tak menjelaskan alasannya. "Tunggu saja, sebentar lagi akan ditandatangani," ucap dia.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan para pemimpin lembaga antirasuah kesulitan menetapkan korporasi sebagai tersangka. Pasalnya, prosedur untuk menersangkakan korporasi masih belum ada.
Alex mengatakan selama ini dia sudah mendesak penyidik atau penuntut umum agar menjadikan korporasi sebagai tersangka. Namun hingga saat ini belum ada satu pun korporasi yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. "Penyidik atau penuntut umum ragu mengenai prosedur atau hukum acaranya," ujar dia.
Sebab itu, Alex mengatakan, KPK berkoordinasi dengan MA untuk menyusun prosedur penetapan tersangka bagi korporasi. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang ada saat ini belum mengatur hukum acara pidana korporasi.
Hukum acara yang dimaksud Alex adalah soal teknis penetapan tersangka, persidangan, hingga hukuman yang diberikan kepada korporasi. "Siapa yang mewakili korporasi di sidang? Korporasi kan enggak bisa ngomong dan membela diri. Juga mengenai bentuk sanksi. Korporasi kan enggak bisa dipenjara," katanya.
Sampai sekarang, KPK belum pernah menjerat korporasi dalam kasus korupsi, meskipun direksi perseroan sudah banyak yang menjadi terpidana. Jumlah terdakwa di KPK yang berasal dari sektor swasta bahkan lebih banyak dari pejabat publik. Walhasil, penindakan tak pernah optimal mengembalikan kerugian negara.
Menurut Alex, lebih dari 90 persen kasus korupsi melibatkan sektor swasta. Biasanya, pihak swasta itu berkolaborasi dengan pihak penguasa.
MAYA AYU PUSPITASARI