TEMPO.CO, Palu- Masih terekam jelas dalam ingatan Ahmadi (bukan nama sebenarnya) ketika dirinya dimintai uang sebesar Rp 10 juta oleh pegawai di Kementerian Agama Sulawesi Tengah. Peristiwa tersebut terjadi pada 2013, saat pemerintah menambah kuota Pegawai Negeri Sipil (PNS) melalui jalur Kategori satu (K1).
Pegawai itu mengatakan ke Ahmadi bahwa fulus tersebut untuk diberikan kepada orang-orang pusat dalam kaitan penerimaan PNS jalur K1. Namun Ahmadi masih belum berstatus PNS. Padahal, fulus Rp10 juta yang ia setorkan ke pegawai Kementerian Agama Sulawesi Tengah merupakan hasil pinjam sana-sini. Harapan Ahmadi mengubah nasib pupus sudah. Uang Ahmadi tak juga kembali.
Menurut Ahmadi, selain dirinya masih ada sekitar 102 honorer yang tidak jelas nasibnya. Ratusan orang tersebut juga diduga telah dimintai sejumlah uang. Rata-rata, kata Ahmadi, orang-orang ini menyetor Rp3-10 juta kepada beberapa oknum pegawai di kementerian agama Palu.
“Kami dipungut uang yang jumlahnya bervariasi. Ada yang Rp3 juta, ada Rp5 juta dan ada yang dimintai Rp10 juta”, kata Ahmadi, baru-baru ini.
Seorang pegawai honor di kantor Kementerian Agama kota Palu lainnya mengaku dijanjikan untuk lulus K1 dengan membayar Rp 5 juta. Namun janji tinggal janji. "Saya diminta 5 juta," ujarnya.
Menurut Ahmadi, jumlah keseluruhan tenaga honorer yang ikut pemberkasan saat itu ialah 149 orang. Namun, hanya 46 tenaga honorer yang dinyatakan lolos K1. Sedangkan 103 lainnya, namanya tidak terdaftar pada pengumuman kelulusan PNS K1 lingkup Kementerian Agama Sulawesi Tengah.
“Kami sempat melakukan protes. Namun, saat itu orang-orang di Kementerian Agama berjanji akan meloloskan kami pada penerimaan PNS kategori II (K2)”, kata pria yang kini bekerja serabutan dan menjadi ustad panggilan dalam acara kenduri.
Kala itu, Ahmadi dan ratusan rekannya sebenarnya telah merasa “dipecundangi”oleh oknum-oknum pegawai Kemenag yang memungut fulus kepada mereka. Sebab, kata Ahmadi, pada penerimaan PNS jalur K2, mereka wajib mengikuti ujian tertulis. Sedangkan waktu menyetorkan uang, para honorer ini dijanjikan bakal lulus menjadi PNS tanpa ujian.
“K2 kan wajib mengikuti ujian. Namanya ujian, berarti belum tentu lulus. Lalu, buat apa kami semua membayar uang-uang itu. Beda dengan jalur K1”, kata Ahmadi.
Ahmadi mengatakan kala itu ada lima orang ditugaskan memungut uang dari para tenaga honorer yang bakal ikut pemberkasan K1. Orang-orang tersebut, kata Ahmadi adalah pegawai Kementerian Agama yang masih aktif bertugas. “Ada nama-namanya semua, saya masih ingat,” katanya tanpa merinci nama-nama pegawai yang dimaksud.
Menurut Ahmadi, dirinya dan beberapa rekan yang gagal menjadi PNS sebenarnya sangat mengharapkan uang-uang tersebut bisa dikembalikan kepada mereka. Sebab, lanjut Ahmadi, masih mengangsur pinjaman puluhan juta rupiah yang ia setorkan ke pegawai Kementerian Agama.
“Kadang saya merasa sangat sedih dan marah. Sebab, bagi saya uang sejumlah itu adalah sangat besar nilainya. Sudah dua tahun ini, saya masih belum juga melunasi hutang tersebut. Saya masih mengangsurnya hingga saat ini. Untung saja orang yang saya pinjami uang itu bersikap baik dan mau dengan sabar menunggu angsuran saya”, katanya.
Abdullah Latopada, Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sulawesi Tengah yang saat pemberkasan dan pengangkatan tenaga honorer K1 dan K2 tahun 2013 adalah pejabat yang duduk sebagai Kepala kantor Kementerian Agama Kota Palu. Dari 149 tenaga honorer peserta jalur K1 dan K2, sebagian besar berasal dari instansi yang ia pimpin tersebut. Namun, pada saat terjadi kisruh pungutan, Abdullah Latopada baru saja naik pangkat jadi Kepala Bagian (Kabag) Tata Usaha (TU) di kantor Kementerian Agama Sulawesi Tengah.
Menurut sumber Tempo lainnya, Abdullah Latopada, saat itu memilih irit bicara kepada wartawan yang melakukan konfirmasi. Abdullah Latopada lebih mengarahkan semua penjelasan persoalan pungutan kepada tenaga honorer peserta K1 dan K2 kepada Kasubag informasi dan humas, yaitu Ahmad Hasni. Abdullah Latopada juga mewanti agar persoalan pungutan di Kementerian Agama Sulawesi Tengah jangan sampai dibesar-besarkan.
“Kalian minta penjelasan kepada pak Ahmad Hasni selaku Kasubag informasi dan humas. Kemenag ini kan lembaga kemaslahatan umat, jadi saya minta jangan sampai tercoreng moreng di mata masyarakatlah. Namun, yang jelas tim internal tengah bekerja”, kata Abdullah kepada sumber Tempo ini.
Pada Juni 2016, Abdullah Latopada resmi dilantik menjadi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Tengah. Namun ketika dikonfirmasi terkait nasib para tenaga honorer yang telah menyetor jutaan rupiah uang namun gagal menjadi PNS jalur K1 dan K2, Abdullah Latopada memilih tidak mau memberikan banyak komentar.
Menurutnya berita semacam itu tidak menarik dan bermanfaat bagi pembacanya.
“ Maaf ya, bukannya saya sedang mengajari anda. Namun, berita-berita buruk semacam itu tidak menarik dan bermanfaat bagi pembacanya. Hal semacam itu membuat media anda menjadi tidak laku. Masyarakat tidak membutuhkan informasi (kabar buruk) semacam itu”, kata Abdullah Latopada kepada Tempo saat dihubungi, Rabu 7 September 2016.
Menurut Abdullah Latopada yang juga bekas Kepala Kantor Wilayah Maluku Utara ini, lebih baik para wartawan menulis dan memuat masalah pendidikan atau seremoni di lingkungan Kementerian Agama. “Bila perlu ajukan proposal kerjasama dengan kami, nanti kami siapkan dan bicarakan nanti anggarannya,” katanya membujuk Tempo. Abdullah menambahkan, sudah beberapa media sudah bekerjasama dalam pemberitaan seremoni di lingkungan Kementerian Agama Sulawesi Tengah.
AMAR BURASE