TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Ronny Franky Sompie mengatakan terdapat sekitar 13.600 pengungsi berkewarganegaraan asing yang berada di Indonesia. Pemerintah pun merasa kesulitan menangani pembiayaan bagi belasan ribu pengungsi tersebut.
"Sesuai dengan Pasal 85 Undang-Undang Keimigrasian, pengungsi bisa tinggal di Rumah Detensi Imigrasi maksimal sepuluh tahun. Bagaimana pengelolaan dan pembiayaannya?" ucap Ronny saat ditemui seusai konferensi pers di Hotel Grand Sahid Jaya, Rabu malam, 7 September 2017.
Selain itu, batas waktu bagi pengungsi dapat tetap tinggal di Indonesia hingga mendapatkan negara tujuan dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) belum diatur. "Kalau bisa ditegaskan, setelah setahun, mereka bisa dikembalikan dengan berkoordinasi melalui duta besar negara asal," ujarnya.
Ronny pun menilai diperlukan sebuah kebijakan nasional tentang penanganan pengungsi asing karena Indonesia belum meratifikasi konvensi mengenai penanganan pengungsi asing. "Paling tidak dikeluarkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden yang bisa menjadi pedoman," tuturnya.
Menurut Ronny, untuk mengantisipasi gelombang pengungsi yang datang ke Indonesia, Imigrasi akan meningkatkan pencegahan. "Biaya pengiriman kembali (ke negara asal) kan juga beban. Karena itu, pencegahan masuk akan diperkuat dan penjagaan perbatasan akan dipertegas," ucapnya.
Pada malam itu, Imigrasi merilis penangkapan sembilan orang yang diduga gigolo dari Afganistan dan satu lain berkewarganegaraan Pakistan di Batam, Kepulauan Riau. Sepuluh gigolo tersebut merupakan pengungsi yang sudah terdaftar di United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).
Setelah mendapatkan status pengungsi, sepuluh orang itu menunggu negara tujuan yang akan menerima mereka. Sembari menunggu, para pengungsi asing tersebut ditempatkan di sebuah community house yang ternyata pengawasannya tidak seketat saat mereka ditampung di Rumah Detensi Imigrasi.
ANGELINA ANJAR SAWITRI