TEMPO.CO, Palangkaraya - Tangannya yang mungil tampak lincah menganyam rotan. Di usia yang memasuki 68 tahun, Bardin duduk di lantai sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya. Ia ditemani anak perempuannya. Keduanya menganyam rotan untuk dijadikan tikar, lalu dijual kepada pemesan.
Bardin belajar membuat tikar berbahan rotan sejak berusia 5 tahun. Ia melakukannya di dalam rumahnya yang hanya seluas 50 meter persegi. "Saya belajar ini dari melihat ibu saya sejak kecil," ucapnya saat ditemui di rumahnya, Desa Pulau Keladan, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Rabu, 7 September 2016.
Dia mengatakan tidak banyak yang bisa dihasilkan dari membuat tikar. Bagi Bardin, harga jual tikarnya dengan tingkat kesulitan yang ia alami dalam pembuatan masih tidak sebanding. Selain itu, dibutuhkan bahan dasar rotan yang tidak sedikit untuk menghasilkan satu tikar.
Bardin hanya membuat tikar dari rotan ketika ada pesanan datang. Jika tidak, ia hanya membuat untuk dipakai oleh keluarganya sehari-hari. Dalam satu bulan, biasanya dia hanya mendapatkan satu pesanan. Tikar ukuran sedang buatannya ia hargai Rp 1 juta.
Dengan posisi duduk bersila di depan tikar yang sedang ia anyam, Bardin bercerita tentang pembuatan tikar dari rotan. Ia bercerita, untuk membuat satu tikar ukuran besar, dibutuhkan waktu selama satu bulan pembuatan dan 70 batang rotan ukuran 4 meter.
Selain itu, kerumitan dalam proses memberi motif pada tikar adalah tantangan sendiri bagi Bardin di usianya yang sudah senja. Dia lantas mengambil contoh tikar yang sudah jadi untuk membantunya menjelaskan. "Lihat nih, ada motifnya, ada warnanya. Ini sulit," ujarnya.
Anak perempuan Bardin yang sedang membantunya, Ita, 30 tahun, mengatakan untuk pewarnaan, tikar harus direndam dengan daun kayu selama beberapa saat. Dan untuk membuat motif kail, yang sering dibuat ayahnya, memiliki tingkat kesulitannya sendiri.
Seakan mengiyakan perkataan anaknya, Bardin menunjuk motif kail di tikar tersebut dan mengatakan memang sulit membuat motif kail seperti itu. "Karena itu, kan, harus menyambung dengan yang di bawahnya," ucap Bardin.
Karena tingkat kerumitannya itu, Bardin membanderol tikar bermotif dengan harga dua kali lipat dari harga tikar tanpa motif. "Ya, saya jual yang motif itu seharga Rp 2 juta biasanya," ucap Bardin.
Kini di usianya yang senja, Bardin mengaku sudah menurunkan keahlian menganyam tikar kepada empat anaknya. Ia mengaku anak-anaknya secara bergantian sering membantunya mengerjakan tikar pesanan para konsumen. "Utamanya sih saya ngajar ke anak laki-laki," ujarnya.
DIKO OKTARA