TEMPO.CO, Mojokerto - Untuk mencegah konflik bernuansa Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA), Kepolisian Resor Mojokerto mengumpulkan tokoh agama dan tokoh masyarakat di markas kepolisian setempat, Rabu, 7 September 2016.
Pertemuan tersebut dalam rangka menyikapi sejumlah konflik yang terjadi di masyarakat Mojokerto akhir-akhir ini dan meredam potensi radikalisme. Selain itu juga menindaklanjuti nota kesepahaman antara Markas Besar Polri dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Salah satu isi nota kesepahaman itu bahwa NU diminta perannya dalam mencegah potensi radikalisme yang berujung pada terorisme.
Selain dihadiri pejabat utama Polres Mojokerto dan jajaran pengurus NU mulai tingkat kabupaten sampai kecamatan, pertemuan itu juga melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), dan perwakilan Pemerintah Kabupaten Mojokerto,.
“Peran tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat penting untuk meredam potensi konflik dan mengatasi kelompok-kelompok radikal,” kata Kepala Kepolisian Resor Mojokerto Ajun Komisaris Besar Boro Windu Danandito.
Boro mengatakan selain mengacu pada aturan hukum, kepolisian juga bisa melakukan pendekatan sosial dalam menghadapi konflik social baik antar umat seagama maupun beda agama. “Kami selalu berusaha memediasi dan mempertemukan antar pihak yang berkonflik untuk menemukan solusi,” katanya.
Ketua MUI Kabupaten Mojokerto KH Mashul Ismail mengatakan bahwa MUI menolak model-model dakwah radikal yang dilakukan sejumlah kelompok Islam. “MUI mengedepankan Islam yang moderat. Dakwah itu harus professional tidak emosional, harus mengajar bukan menghajar,” kata Mashul. Ia menyayangkan jika ada kelompok tertentu yang menuduh kafir kelompok lain.
Potensi radikalisme di Mojokerto akhir-akhir ini muncul di kalangan umat Islam. Tahun ini setidaknya ada dua peristiwa yang beruansa SARA. Pertama terkait penolakan masyarakat pada kegiatan dakwah oleh kelompok-kelompok Islam radikal yang tidak sesuai dengan kearifan lokal. Kedua, terjadi konflik antar kelompok preman dengan umat Islam yang mempersoalkan keberadaan hotel di dekat masjid dan makam.
Selain membahas potensi radikalisme, forum juga membahas penindakan hukum untuk ujaran kebencian atau hate speech. Sesuai surat edaran Kapolri semasa Jendral Badrodin Haiti, Polri diberi kewenangan memproses secara hukum bentuk-bentuk penghinaan atau fitnah baik secara lisan maupun menggunakan media tertentu.
“Hate speech bisa dijerat dengan KUHP, jika itu dilakukan dengan media tertentu missal media social maka bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” kata Mashul.
ISHOMUDDIN