TEMPO.CO, Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi menjadikan rekaman penyadapan atas Setya Novanto oleh Maroef Sjamsoeddin dalam kasus “Papa Minta Saham" menjadi ilegal dan tidak bisa dijadikan sebagai barang bukti dalam persidangan.
Dalam kasus itu, Maroef—yang saat itu Direktur Freeport Indonesia—merekam pembicaraan dengan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto dan pengusaha minyak Riza Chalid. Kejaksaan Agung sempat menjadikan rekaman itu sebagai bahan penyelidikan. Baca beritanya di sini.
Ini yang membuat Setya mengajukan uji materi atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa dalam hal hasil penyadapan oleh perorangan tidak bisa digunakan sebagai bahan penyidikan karena melanggar hak asasi.
"Ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence, bukti dimaksud dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan," ujar hakim konstitusi Manahan Sitompul di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, 7 September 2016.
BACA: MK: Penyadapan atas Setya dalam Kasus Papa Minta Saham Ilegal
Hal itu disampaikan Manahan ketika membacakan pertimbangan Mahkamah. Mahkamah juga berpendapat bahwa penyadapan dalam rangka penegakan hukum harus dilakukan secara sah atau dilakukan atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi penegak hukum lainnya.
"Penyadapan harus dilakukan dengan izin pengadilan agar ada lembaga yang mengontrol dan mengawasi sehingga penyadapan tidak dilakukan sewenang-wenang," kata Manahan.
Atas dasar itulah Mahkamah kemudian menilai bahwa permohonan Setya Novanto beralasan menurut hukum, mengingat Kejaksaan Agung melampirkan alat bukti terhadap dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia dari rekaman pembicaraan yang direkam Maroef Sjamsoeddin.
Selain itu, Mahkamah mengabulkan permohonan Setya Novanto atas uji materi ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tindak Pidana Korupsi. "Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," tutur ketua majelis hakim konstitusi Arief Hidayat.
Sebelumnya, Setya Novanto merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan dalam UU ITE dan UU Tipikor terkait dengan alat bukti elektronik yang sah. Dia menilai bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas tentang alat bukti yang sah, serta siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan perekaman.
ANTARA