TEMPO.CO, Jakarta - Istri mendiang aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib, Suciwati, menilai sistem penegakan hukum di Indonesia belum bisa berpihak pada keadilan. Sebab, kata dia, upaya yang dilakukan untuk mengusut otak pembunuhan suaminya ibarat membentur tembok.
Suciwati mengibaratkan penegakan hukum di Indonesia masih berbau busuk. “Kita enggak membiarkan kebusukan itu ada,” katanya di Jakarta, Rabu, 7 September 2016.
Selama 12 tahun, kematian Munir menyisakan pertanyaan. Upaya hukum terus dilakukan Suciwati bersama aktivis lain. Hingga kemudian dia mendirikan Omah Munir di Batu, Jawa Timur, sepuluh tahun lalu untuk mengusung semangat penegakan hak asasi manusia.
Namun Suciwati melihat masih ada ruang kosong untuk mengkampanyekan penegakan hak asasi manusia. Melalui Museum HAM dan Omah Munir, ia menginginkan para generasi muda untuk melawan lupa. “Terus-menerus mencari kebenaran,” ujarnya.
Pengusutan kasus pembunuhan Munir telah dilakukan melalui pengadilan dan keterbukaan informasi publik. Persidangan pun masih berlanjut pada tahap pemeriksaan saksi-saksi. Namun harapan besar justru ditumpahkan Suciwati kepada anak muda, yaitu dengan merangkul mereka untuk memahami persoalan HAM.
Suciwati mengaku tidak menaruh harapan banyak kepada Presiden Joko Widodo untuk mengusut tuntas kematian suaminya. “Dia dikelilingi oleh penjahat, apakah bisa berharap dengan orang-orang itu? Tidak bisa,” ujarnya.
Dua belas tahun lalu, Munir tewas. Ia dinyatakan dibunuh dengan racun arsenik yang ditemukan dalam tubuhnya. Hasil penyidikan menjadikan Pollycarpus, pilot pesawat Garuda, dan anggota Badan Intelijen Negara serta bekas Komandan Kopassus TNI Angkatan Darat, Muchdi Purwoprandjono, sebagai pelaku. Namun kini para pelaku telah bebas dari penjara.
DANANG FIRMANTO