TEMPO.CO, Jakarta - Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI menyita sekitar 42 juta butir obat palsu berbagai jenis. Wakil Kepala Bareskrim Polri Inspektur Jenderal Antam Novambar mengatakan penyitaan obat itu merupakan hasil penelusuran secara intensif oleh timnya bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam delapan bulan terakhir.
Meski sudah ada barang bukti, Polri hingga kini belum menetapkan tersangka. "Sebanyak 12 orang yang diambil keterangannya. Belum ada tersangka," kata Antam saat rilis di kantor Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 6 September 2016.
Dia enggan menjelaskan detail asal-usul penyitaan obat itu. Antam hanya menyebutkan obat palsu tersebut banyak ditemukan di daerah Kalimantan. "Tapi peredarannya dari Sabang sampai Merauke," ujarnya.
Jenis obat palsu yang disita di antaranya Tramadhol, Heximer, dan Carnophen. Kepala BPOM Penny K. Lukito mengatakan Tramadhol seharusnya dipakai untuk pereda nyeri pasca-operasi. Namun, jika tak digunakan sesuai dengan dosis, obat itu bisa bikin teler. BPOM pernah membatalkan izin edar Tramadhol. "Tapi masih diproduksi dan obat ini sering disalahgunakan," ucapnya.
Adapun Heximer digunakan untuk mengobati parkinson. "Untuk penenang. Kalau berlebihan, bisa mabuk, teler," katanya.
Sedangkan Carnophen sebetulnya untuk pereda nyeri otot. Namun sering disalahgunakan untuk mabuk-mabukan. Karena itu, kata Penny, BPOM sudah membatalkan izin edar Carnophen. "Jadi ilegal ini," tuturnya.
Selain ketiga obat di atas, Polri dan BPOM menyita obat tradisional ilegal yang mengandung bahan kimia obat berbahaya. Kegunaannya untuk penambah stamina. "Obat kuat yang akan mematikan kalau digunakan tanpa ada kontrol," katanya.
Obat-obatan ini diproduksi tanpa izin industri. Pembuatannya tidak sesuai dengan prosedur sehingga dianggap palsu.
LINDA TRIANITA