TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga Komisi Yudisial Farid Wajdi menilai pola manajemen hakim harus lebih terbuka dan transparan sebagai konsekuensi status hakim sebagai pejabat negara. Menurut dia, sistem satu atap yang selama ini dipegang tunggal dan mutlak oleh Mahkamah Agung harus mulai dibagi kepada lembaga eksternal dan masyarakat.
"Justru kontrol pengawasan akan lebih efektif. Pelibatan publik juga akan mengembalikan kepercayaan masyarakat," kata Farid melalui pesan pendek, Selasa, 6 September 2016.
Hal ini disampaikan Farid untuk menanggapi keputusan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat yang menyetujui draf Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim dari Komisi Hukum. Menurut dia, RUU Jabatan Hakim jangan sampai hanya berfokus pada soal hak keuangan dan fasilitas pejabat negara bagi hakim. Ia mengklaim, lembaganya berharap beleid ini mampu menjadi tonggak perubahan menyeluruh seluruh sistem kehakiman.
"Perlu ada jaminan, dunia peradilan ke depan akan jauh lebih baik," kata Farid.
Dalam rapat dengar pendapat umum RUU Jabatan Hakim, Komisi Yudisial memang mengajukan beberapa usul terhadap pasal-pasal dalam draf tersebut kepada Badan Legislasi. Salah satunya adalah meningkatkan kekuatan rekomendasi sanksi yang diberikan Komisi Yudisial terhadap hakim yang melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Selama ini, rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial kerap sia-sia karena Mahkamah Agung tak wajib menjalankannya. Dalam RUU Jabatan Hakim, Komisi Yudisial meminta DPR memberikan jaminan rekomendasi lembaga pengawas eksternal tersebut bersifat mengikat. Bahkan dapat menjadi pertimbangan dalam promosi dan mutasi hakim.
FRANSISCO ROSARIANS