TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Resor Kota Gorontalo dan Kepolisian Daerah Gorontalo didesak mengusut secara tuntas kasus penyerangan Kantor Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo serta pemukulan terhadap seorang karikaturis bernama Hidayat Dangkua.
“Kami mendesak Polres Kota Gorontalo dan Polda Provinsi Gorontalo segera mengusut tuntas pemukulan dan penyerangan Kantor AJI Kota Gorontalo sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Ketua AJI Kota Gorontalo Debby Hariyanti Mano melalui keterangan pers, Selasa, 6 September 2016.
Debby menjelaskan, aksi penyerangan dan pemukulan terhadap Hidayat—akrab disapa Yayat—terjadi pada Senin, 5 September 2016. Penyerangan diduga didalangi massa pendukung wali kota.
Menurut Debby, segerombolan orang mendatangi Kantor Sekretariat AJI, yang berlokasi di Kelurahan Tomulobutao, Kota Gorontalo. Di sebuah warung kopi yang berada di halaman kantor, saat itu sedang berlangsung rapat Forum Komunitas Hijau (FKH), yang membahas masalah penebangan pohon. “Rapat dihadiri Wali Kota Gorontalo Marten Taha dan sejumlah kepala dinas,” ujarnya.
Debby mengatakan Yayat, yang merupakan anggota AJI dan anggota FKH, diserang saat akan diamankan dari massa tersebut. Dia pun sempat didatangi lurah setempat dan sejumlah polisi. Seorang di antaranya merupakan ajudan Wali Kota Gorontalo.
Yayat dibawa keluar dari kantor. Namun dia dipukuli massa di luar ruangan. Pukulan mengena pada bagian pipi kanan, kepala bagian belakang, dan sekitar tulang pipi Yayat.
Massa yang melakukan penyerangan, kata Debby, diduga sebagai pendukung wali kota, yang emosi akibat karikatur karya Yayat. Karikatur tersebut berisi protes terhadap penebangan pohon di Kota Gorontalo. Yayat diketahui memuat karikatur ke akun media sosialnya.
Debby menjelaskan, pihak AJI sudah meminta konfirmasi Wali Kota Gorontalo Marten Taha ihwal keberadaan massa yang menyerang Kantor Sekretariat AJI Kota Gorontalo dan pemukulan terhadap Yayat. Namun Marten mengaku tidak tahu.
AJI Kota Gorontalo menyatakan pelaku penyerangan dan pemukulan bisa dijerat Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Ancaman hukumannya 2 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. “Kami menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat menghentikan kekerasan terhadap jurnalis dan menggunakan undang-undang tentang pers dalam menyelesaikan kasus yang terkait karya jurnalistik,” ucapnya.
AJI Kota Gorontalo pun mengimbau semua jurnalis bekerja secara profesional dan mematuhi kode etik serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.
YOHANES PASKALIS