TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo menyempatkan diri untuk menyampaikan pendekatan Indonesia dalam menangani terorisme pada hari terakhir Konferensi Tingkat Tinggi G-20, Hangzhou, Senin, 5 September 2016. Menurut Jokowi, isu terorisme relevan disampaikan dalam KTT G-20 karena turut menjadi penentu ekonomi dunia.
"Belakangan ini, saya terus mengamati peningkatan serangan teror yang terjadi di negara anggota G-20, seperti Prancis, Turki, dan Indonesia. Ini tidak bisa dibiarkan," kata dia.
Jokowi mengatakan terorisme tidak bisa ditangani dengan kekuatan militer, seperti anggapan kebanyakan orang selama ini. Menurut dia, hasil dari penyelesaian secara keras selama ini masih kurang ampuh. Nyatanya, masih kerap terjadi serangan teror.
Menurut dia, cara yang lebih pas adalah ikut memasukkan cara lunak atau soft power pada pendekatan keras. Misalnya, pemerintah melakukan pendekatan diplomatis ke jaringan teroris atau mencari akar penyebab kegiatan terorisme itu sendiri dibanding menghadapi para teroris secara langsung.
Akar penyebab terorisme, menurut pemerintah Indonesia, selama ini adalah kesenjangan ekonomi dan perbedaan perlakuan. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah berkata, kesenjangan tersebut, bagi beberapa orang, menyebabkan kemarahan dan kehilangan tujuan hidup sehingga akhirnya menekuni paham terorisme, yang dipercaya sebagai jalan tercepat ke surga.
"Kemiskinan, ketimpangan, dan marginalisasi," ujar Presiden tentang hal-hal yang diyakini memicu terorisme.
Presiden menegaskan, pendekatan yang ia sampaikan itu hanyalah satu hal. Hal lain yang harus diperhatikan adalah kerja sama di antara negara-negara G-20, seperti dalam hal pertukaran informasi intelijen dan penghapusan pendanaan terorisme. Jika itu berhasil dilakukan, terorisme akan sulit terjadi.
"Yang saya ingin tekankan, terorisme tidak ada korelasinya sama sekali dengan agama mana pun," tuturnya.
ISTMAN MP
Baca juga: Heboh Soal Pizza: Inilah 3 Hal Aneh Sekaligus Merisaukan