TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Presidium Dewan Kehutanan Indonesia (DKN), Agus Justianto menjelaskan pembelajaran yang dilakukan sejumlah desa dan kelompok membawa dampak positif bagi masyarakatnya. "Mereka menerapkan kearifan lokal untuk mengelola hutan agar lestari," katanya saat menjadi fasilitator dalam acara Semiloka Nasional Hutan Indonesia.
Semiloka yang berlangsung 1-3 September di Jakarta itu diselenggarakan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, DKN, dan Program UNDP REDD. Acara ini diikuti 100 peserta dari Dinas Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup, dan Bappeda di seluruh Indonesia, serta akademisi dan aktivis LSM.
Menurut Agus, hasil semiloka akan menjadi rekomendasi bagi pelaksanaan Kongres Kehutanan Indonesia Ke-6 pada 3 November hingga 2 Desember 2016, di Jakarta. Tema kongres adalah "Reposisi Kehutanan Indonesia Menuju Terlaksananya Tata Kelola Kehutanan yang Baik".
Dalam pembukaan Semiloka, Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono menjelaskan tantangan utama pembangunan kehutanan ke depan adalah bagaimana mensinergikan tata kelola hutan pada tataran kebijakan-kebijakan di tingkat pusat dengan kebutuhan-kebutuhan di tingkat tapak. Semuanya itu ditujukan untuk mewujudkan kelestarian lingkungan; kedaulatan pangan, dan kesejahteraan rakyat.
Bambang Hendroyono menyarankan agar pendekatan pembangunan kehutanan dimulai dari pinggir hutan, karena negara harus hadir dan pemerintah harus nyata di tengah rakyat. "Pendekatan ini haruslah dilihat sebagai jawaban atas krisis keadilan lingkungan, ketergantungan pangan yang mengarah pada krisis sosial, yang dihadapi masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia", kata Bambang.
Pada hari pertama semiloka, empat kampung/masyarakat adat memaparkan pengalamannya. Antara lain hutan nagari di Sumatera Barat, hutan adat Toro-Sigi (Sulawesi Tengah), Desa Tanjung Harapan, Kabupaten Kubu Raya (Kalimantan Barat) dan dsa adat di Kabupaten Jayapura.
"Jika Menteri KLHK memberi izin, kami akan kelola hutan mangrove untuk budi daya madu lebah," kata Juheran, Kepala Desa Tanjung Harapan, Kabupaten Kubu Raya.
Dia bercerita pada tahun 2014, terjadi konflik warga dengan pengusaha perkebunan sawit. Perusahaan ini belum menuntaskan seluruh perizinan, namun telah menanam bibit sawit di lahan gambut.
Warga 9 desa di Kubu Raya akhirnya mencabut seluruh bibit pohon tersebut. Masyarakat marah, karena perkebunan itu menjarah lahan gambut dalam (sekitar 15 meter) tempat dimana terdapat kubah gambut atau sumber air bagi masyarakat.
Polda Kalimantan Barat menetapkan sejumlah tokoh masyarakat menjadi tersangka. Warga akhirnya patungan dan terkumpul uang Rp 90 juta untuk ganti rugi bibit sawit.
Menurut Juheran, pemerintah dan aparat tidak mendukung warga untuk menghadapi perusahaan. Padahal masyarakat telah membuat Peraturan Desa yang memberi sanksi bagi warga yang menebang mangrove.
Selama Orde Baru, sebagian besar hutan di Kubu Raya dikuasai oleh pengusaha pemilik konsesi hak penguasaan hutan (HPH). Mereka membuat kanal-kanal dan menebang pohon yang ditanam di lahan gambut.
Setelah pohon yang besar-besar habis, para pengusaha meninggalkan daerah konsesinya. Sejak itulah lahan di wilayah ini sering terbakar kala memasuki musim kemarau.
Pada tahun 2015, sekitar 700 hektare lahan gambut di Tanjung Harapan terbakar. Kabut asap menutupi desa selama bulan September hingga Oktober.
Mulai awal tahun ini, warga mendapat bantuan dari Program UNDP REDD berupa pembangunan sekat kanal, embung, dan sumur bor. Melalui LSM Sampan, mereka mengadakan pelatihan membuat bakso dan sirup mangrove bagi kaum wanita.
Selain itu memberikan 250 tikung atau pancing agar lebah membuat sarang madu di hutan mangrove. "Bantuan itu sangat bermanfaat. Sampai saat ini tidak terjadi kebakaran lahan di wilayah kami," kata Juheran.
UNTUNG WIDYANTO