TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menilai penafsiran Pasal 70 ayat 3 huruf a Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang mewajibkan dia cuti selama masa kampanye menyebabkan perbedaan kedudukan dalam hukum. Hal itu disampaikan Ahok dalam sidang lanjutan uji materi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu, 31 Agustus 2016.
Ahok merasa undang-undang itu merugikannya karena mengurangi masa jabatannya jika harus mengambil cuti selama empat bulan. Bahkan masa cutinya harus diperpanjang hingga enam bulan apabila pilkada DKI Jakarta 2017 berlangsung dua putaran. Ahok membandingkan aturan itu dengan jabatan presiden yang wajib menjabat selama lima tahun.
"Ketentuan berpotensi mengurangi masa jabatan selama empat-enam bulan dibandingkan dengan masa jabatan presiden," kata Ahok di ruang sidang.
Padahal, ucap Ahok, secara prinsip, gubernur dan presiden sama-sama memerintah demi memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Ahok berujar, selaku kepanjangan tangan presiden di DKI Jakarta, ia sudah selayaknya melaksanakan tugasnya secara penuh karena dipilih langsung oleh rakyat.
"Ini sejalan dengan ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun," ujar Ahok.
Sedangkan penafsiran UU Pilkada, tutur Ahok, mewajibkan dia kehilangan masa jabatan sesuai dengan rentang waktu yang ditentukan karena harus cuti. "Kewajiban untuk cuti telah merugikan hak saya untuk bekerja menuntaskan amanah rakyat hasil pemilihan langsung."
Ahok membacakan perbaikan surat gugatan sesuai dengan masukan hakim Mahkamah Konstitusi. Adapun salah satu unsur perbaikan yang diminta hakim adalah pemaparan kerugian konstitusi terkait dengan pasal soal cuti kampanye bagi calon inkumben dalam Undang-Undang Pilkada. Perbaikan gugatan itu telah dikirim ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat pekan lalu.
LARISSA HUDA