TEMPO.CO, Bangkalan - Di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, motor yang dirampas begal bisa diperoleh kembali melalui blater atau bekas preman. "Blater ini lebih hebat dari polisi, dibegal pagi, siang motornya sudah ketemu. Tinggal bayar tebusan," kata Sugiono, aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dalam diskusi yang digelar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kabupaten Bangkalan di aula Kecamatan Kamal, Ahad malam, 28 Agustus 2016.
HMI menggelar diskusi soal maraknya begal di sekitar kampus Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Kepala Kepolisian Resor Bangkalan Ajun Komisaris Anisullah M. Ridha diundang sebagai pembicara bersama Komandan Komando Rayon Militer dan Kepala Kepolisian Sektor Kamal.
Diskusi digelar setelah pada Kamis, 25 Agustus lalu, Reni Indriani, 23 tahun, mahasiswa semester V Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bangkalan dibegal saat melintas di jalan sekitar kampus UTM di Desa Tellang, Kecamatan Kamal. Reni lolos dari pembegalan, tapi penduduk Desa Keleyan, Kecamatan Socah, itu sempat kritis akibat kepala bagian belakang retak. Retakan disebabkan kepalanya membentur pinggiran parit saat Reni terjatuh akibat tasnya ditarik dua orang begal.
Menurut HMI, Reni hanya satu dari sekian banyak mahasiswa korban pembegalan di sekitar kampus UTM. Sampai kini banyak kasus pembegalan mahasiswa tidak terungkap.
Sugiono sependapat dengan HMI. Menurut dia, banyak kasus begal tak terungkap membuat para korban termasuk mahasiswa minta bantuan para blater untuk menebus sepeda motor yang dibegal. Selain Sugiono, mahasiswa lain juga menyampaikan hal serupa terkait dengan peran blater dalam menemukan sepeda motor hasil pembegalan di Bangkalan.
Mendengar institusi polisi dibandingkan dengan blater, Anisullah gerah, nada bicaranya meninggi saat memberikan tanggapan. "Orang yang melapor ke blater dan tidak melapor ke polisi adalah penghianat keamanan," katanya.
Menurut Anis, praktek meminta bantuan kepada blater adalah budaya feodal yang harus ditinggalkan. "Inilah yang membuat orang Madura selalu dipandang kampungan oleh orang luar."
Anis pun meminta mahasiswa mengubah budaya itu. Ia meminta mahasiswa melapor kepada polisi setelah melapor kepada blater. Dengan begitu, para blater bisa dijebak kemudian ditangkap karena membantu begal telah memenuhi syarat bagi seseorang untuk ditangkap dan dihukum. "Pertanyaannya, mahasiswa berani gak menjebak blater?" kata Anis.
Mereka yang menyandang “gelar” blater adalah tokoh masyarakat. Biasanya, mereka memiliki riwayat hidup kelam, identik dengan tindak kriminalitas. Namun, dalam satu masa hidupnya, mereka bertaubat. Masyarakat kemudian menokohkannya dan menjadikannya orang yang disegani. Bila terjadi masalah kriminal di desa, blater inilah yang turun tangan untuk menyelesaikan.
MUSTHOFA BISRI