TEMPO.CO, Kupang - Gugatan Class Action yang diajukan 13 ribu nelayan rumput laut di Nusa Tenggara Timur terhadap PTTEP Australasia di pengadilan federal di Sidney, Australia, memerlukan dukungan pemerintah Indonesia. Pakar hukum internasional Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, D.W. Tadeus, mengatakan dukungan yang dapat diberikan pemerintah Indonesia terhadap upaya class action itu di antaranya dengan mencabut izin operasi dan membekukan aset perusahaan minyak asal Thailand tersebut di Indonesia.
Pemerintah juga bisa membatalkan perjanjian 1997 antara Indonesia dan Australia. “Bisa dibatalkan karena belum diratifikasi parlemen kedua negara,” kata Tadeus, Senin, 29 Agustus 2016.
Gugatan ini muncul akibat meledaknya kilang minyak Montara di Laut Timor pada 21 Agustus 2009. Laut Timor tercemar sehingga merugikan nelayan dan petani rumput laut setempat. "Ini pelajaran penting dan berharga bagi Indonesia untuk menjaga lingkungan laut.
Nelayan dan petani rumput laut diadvokasi Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) pimpinan Ferdi Tanoni. Kasus itu sudah didaftarkan pada 3 Agustus 2016 di Pengadilan Federal Australia di Sydney dan sidang pertama digelar pada 22 Agustus 2016.
Menurut Tadeus, kasus ini patut dijadikan pelajaran penting oleh Indonesia karena banyak sekali perusahaan minyak beroperasi di Laut Timor. "Wilayah perairan kita harus dijaga karena bukan tidak mungkin kasus seperti Montara bisa terjadi lagi pada waktu-waktu mendatang."
Sejak meledaknya kilang minyak Montara, kata dia, pemerintah Indonesia seharusnya bertindak cepat melakukan penelitian untuk mengetahui ada tidaknya bukti pencemaran di wilayah perairan sekitarnya guna mengambil langkah-langkah hukum sesuai ketentuan internasional.
Dampak pencemaran itu menghancurkan usaha budi daya rumput laut masyarakat pesisir di Nusa Tenggara Timur, seperti di selatan Pulau Timor, Rote Ndao, Alor, Sabu Raijua, Sumba, serta sebagian Flores dan Lembata. Hasil tangkapan para nelayan turun drastis sehingga membuat sekitar 70 persen nelayan Kupang asal Oesapa hengkang untuk mencari lahan kehidupan baru di perairan Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Namun hingga kini pemerintah Indonesia belum menanggapinya.
YOHANES SEO