INFO NASIONAL - Belum lama ini heboh diberitakan salah seorang menteri Indonesia yang mempunyai paspor ganda. Meski ini bukan kasus satu-satunya dan yang pertama kalinya Warga Negara Indonesia (WNI) memiliki dua kewarganegaraan, namun dalam praktek legalnya hal ini tidak dibenarkan.
Indonesia tidak mengenal konsep kewarganegaraan ganda menurut Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan, Namun sejak lahirnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, diperkenalkan konsep Kewarganegaraan Ganda Terbatas. Yaitu terhadap anak yang karena situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya memiliki dwi kewarganegaraan dan diberi kesempatan untuk memilih. Hak untuk memilih itu berlaku ketika anak tersebut telah berusia 18 tahun atau sudah kawin. Namun pada kasus pak mentri tersebut, hal ini tidak dapat diberlakukan. Karena yang bersangkutan bukan merupakan subjek dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Baca Juga:
Sang menteri tadi adalah salah satu diaspora Indonesia yang mempunyai kemampuan luar biasa. Dua puluh tahun merantau di Amerika Serikat, mendirikan perusahaan konsultan perminyakan di Amerika Serikat, mempunyai paten di bidang perminyakan yang termasuk katagori teknologi strategis. Dalam arti sederhana Diaspora adalah perantau yaitu orang yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke negara lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Hal ini dapat berarti WNI yang berada di luar negeri, WNI yang sudah menjadi WNA (Warga Negara Asing), WNA yang mempunyai pasangan WNI beserta keturunannya dan juga WNA yang memiliki perhatian khusus terhadap Negara Republik Indonesia.
Diaspora Indonesia telah lama meminta disesuaikannya Undang-Undang di Indonesia agar Pemerintah Indonesia mengakomodir kewarganegaraan tidak terbatas. Kewarganegaraan ganda yang diminta diaspora Indonesia merupakan gagasan ideal untuk memfasilitasi mereka agar dapat lebih berperan optimal dalam pembangunan nasional. Pemerintah Indonesia dirasa perlu mempertimbangkan perubahan kebijakan kewarganegaraan ganda tidak terbatas tersebut sesuai dengan keadaan dan dirasa tepat bagi Bangsa Indonesia saat ini.
Sebagai contoh India mengadopsi prinsip dual citizenship dengan kebijakan Overseas Citizenship of India (OCI). Dimana pemegangnya yang pernah menjadi warga negara India dapat melakukan perjalanan kembali ke India tanpa keharusan memiliki visa dan dapat bekerja tanpa disertai dengan izin kerja walaupun tetap ada batasan-batasan tertentu. Ini dikarenakan Pada saat itu sejumlah ahli teknologi di India secara berbondong-bondong menyerbu Amerika Serikat dan sejumlah negara maju di Eropa. Para pengamat mengatakan, migrasi tersebut menghilangkan modal intelektual yang berharga atau disebut brain drain. Namun Prof. Dr. Mashelkar, mantan Direktur Indian National Academy of Science mengatakan ini adalah brain circulation, yakni fenomena muncul karena adanya dorongan curiosity yang kuat dalam setiap diri petualang untuk mengaktualisasikan impiannya. Dan nyatanya, fenomena brain drain yang dianggap menakutkan, justru sebaliknya malah menguntungkan. Dimana pada akhir tahun 90-an dan menjelang abad 21 India malah dihadapkan dengan arus besar U-turn circulation, yaitu kembalinya para imigran dari perantauan, di Amerika dan Eropa. Dan berdampak pada brain circulation, yaitu potensi besar, modal intelektual, dan juga modal jaringan (network circulation) untuk kemajuan negerinya.
Baca Juga:
Dengan demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa permasalahan yang perlu dijawab adalah kebutuhan untuk memberikan status hukum yang jelas kepada diaspora Indonesia. Status hukum itu adalah status kewarganegaraan Indonesia yang diberikan kepada mereka atau kebijakan yang dapat memfasilitasi mereka dalam memberikan sumbangsih kepada Bangsa Indonesia dimana mereka telah memiliki status kewarganegaraan di negara tempat ia berdomisili.
Betapapun status kewarganegaraan itu bukan sekadar memberikan sense of belonging, tetapi lebih dari itu, status hukum yang memberikan hak–hak hukum, sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang–undangan. Sebagaimana disinggung diatas, apakah hak – hak hukum mereka akan sama dengan WNI yang berkewarganegaraan tunggal. Apakah hanya sebatas hak sosial ekonomi untuk dapat membeli dan memiliki tanah, rumah, dan dapat bersekolah? Tentu lebih substantif dari sekadar aspek administratif seperti itu. Jika demikian, kiranya perlu dikaji secara lebih mendalam dan multi aspek. (Deni Harianto - Imigrasi Karawang)