TEMPO.CO, Jakarta - Sidang kasus vaksin palsu yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis, 25 Agustus 2016, akan memasuki tahap mediasi. Hakim Ketua Novvry Tammy Oroh menjelaskan, proses persidangan harus melalui tahap mediasi terlebih dahulu. Hal itu sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung (MA) Nomor 1 Tahun 2016.
“Majelis menunjuk hakim mediator dari PN Jaktim, Ida Marion. Mediasi perlu dilaksanakan untuk mempercepat penyelesaian perkara dan menghindari perselisihan antar para pihak,” kata Novvry.
Setelah perundingan oleh kedua pihak, mediasi akan diselenggarakan pada 8 September 2016. Kuasa hukum orangtua korban vaksin palsu, Rony Eli Hutahaean, mengatakan, sidang lanjutan gugatan tetap diteruskan bila tidak ada titik temu dalam tahap mediasi.
Dalam tahap mediasi, imbuh Rony, tergugat akan memberikan sikap atas gugatan yang dilimpahkan. Di saat itulah kedua belah pihak akan mendengarkan sikap masing-masing yang dirasa dapat menyelesaikan masalah.
Gugatan yang diajukan, antara lain, dibukanya jumlah data korban oleh Rumah Sakit Harapan Bunda, membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 687,6 juta dan Rp 1 miliar untuk ganti rugi imateriil. Jika lalai menjalankan apa yang sudah diputuskan, maka tergugat harus membayar uang paksa sebesar Rp 1 juta per hari.
“Tapi bukan di situ hakikat dari gugatan kami. Kami ingin memberikan pembelajaran, khususnya pada pemerintah agar serius untuk menangani (kasus vaksin palsu), karena begitu banyak permasalahan yang tidak ada ujungnya,” ucap Rony.
Salah satu orangtua korban vaksin palsu, Maruli Tua Silaban, menggugat empat pihak, yakni Rumah Sakit Harapan Bunda sebagai tergugat satu, dr. Muhidin sebagai tergugat dua, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sebagai tergugat tiga, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Republik Indonesia sebagai tergugat empat.
LANI DIANA | KUKUH