TEMPO.CO, Jakarta - Permohonan uji material (judicial review) atas Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diajukan orang tua korban peristiwa Mei 1998, Paian Siahaan dan Yati Ruyati, ditolak majelis hakim Mahkamah Konstitusi.
Menurut Wakil Koordinator Bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani, majelis hakim memutuskan tidak ada persoalan normatif dalam undang-undang tersebut.
“Menurut majelis hakim, yang menjadi masalah adalah implementasi atau prakteknya,” kata Yati, yang ditemui seusai persidangan di gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa, 23 Agustus 2016.
Majelis hakim, kata Yati, menjelaskan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak sebatas persoalan yuridis, tapi persoalan politis. Artinya, harus ada kemauan politik dari pemerintah dan semua otoritas untuk mengakhiri kabar simpang siur soal penegakan keadilan pelanggaran HAM yang terjadi pada Mei 1998.
Selain itu, para pembuat undang-undang perlu melengkapi UU 26 Tahun 2000 untuk memastikan tidak ada lagi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Komnas HAM, yang telah berlarut-larut lebih dari 13 tahun.
Tidak hanya itu, pemerintah didesak membuka semua peluang hukum bagi para pemohon dan mencarikan jalan keluar bila penyelidik, dalam kasus ini Komnas HAM, tidak dapat menindaklanjuti rekomendasi penyidik hingga tenggat waktu yang diberikan.
“Tentu kita menyayangkan karena tidak semua tuntutan diterima majelis hakim. Tapi kami sangat peduli dan respek dengan beberapa pertimbangan dari majelis hakim yang memberikan beberapa usulan atau rekomendasi, bahwa memang persoalan penyelesaian pelanggaran HAM berat telah terjadi ketidakpastian hukum yang merugikan hak-hak konstitusional para pemohon,” tutur Yati.
Yati menilai, pemerintah belum mau menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat, khususnya untuk korban kerusuhan Mei 1998. Karena itu, semua pertimbangan majelis hakim akan disampaikan kepada pihak-pihak terkait, terutama Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Jaksa Agung, dan Komnas HAM, untuk segera ditindaklanjuti. “Jadi (pemerintah) dengan sengaja tidak mau menyelesaikan,” ujarnya.
Paian Siahaan dan Yati Ruyati mengajukan permohonan uji material pada 25 Juni 2015. Pemohon mengajukan permohonan pengujian karena penafsiran Pasal 20 ayat 3 UU Pengadilan HAM tidak jelas sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum. Padahal, sejak 2000, Komnas HAM telah menyerahkan tujuh berkas perkara penyelidikan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.
LANI DIANA | KUKUH