TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan telah mengajukan tiga sistem pemilu terkait dengan pemilihan legislatif. Tiga sistem pemilu itu adalah terbuka, tertutup, dan kombinasi antara terbuka dan tertutup.
"Pemerintah memberi opsi. Pilih yang sesuai, yang paling baik untuk dilakukan," ucap Tjahjo di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin, 22 Agustus 2016.
Tjahjo menjelaskan perbedaan antara sistem terbuka, tertutup, dan kombinasi. Bila sistem tertutup, partai politik mempunyai kekuasaan untuk memilih satu nama menjadi calon nomor satu. Hal tersebut berdasarkan keputusan partai politik. "Misal, kalau di partai saya, harus ada tes psikotes dulu, baru dinyatakan layak jadi calon nomor satu atau tidak," ujarnya.
Berbeda dengan sistem terbuka. Dengan sistem ini, bisa saja calon nomor urut satu kalah oleh calon nomor sembilan. "Mungkin dia punya akses tertentu atau seperti apa," tutur Tjahjo.
Sedangkan dengan sistem kombinasi, bila calon nomor urut satu kalah oleh calon nomor sembilan, ada hak untuk dilakukan pengecekan. "Apakah suara murni atau ada permainan," ucap Tjahjo. Bila ternyata ada permainan politik, partai dapat membatalkan kemenangan calon nomor urut sembilan dan mengembalikannya ke nomor satu.
Baca Juga:
Tjahjo mengatakan sebenarnya sistem kombinasi lebih baik. Tapi, ujar dia, hingga saat ini, masih ada partai yang memilih tertutup dengan alasan hak politik, hak kedaulatan orang menjadi anggota DPR karena partai politik.
Selain itu, partai mengklaim tidak ada anggota DPR independen atau karena ada penugasan khusus dari partai politik. Dengan sistem kombinasi, calon diusulkan dari partai dan sah. "Kan, tidak mungkin calon DPR tanpa masuk atau persetujuan partai," tutur Tjahjo.
Sistem pemilu ini, menurut Tjahjo, harus dikoordinasikan dengan presiden karena menyangkut kepentingan umum. "Jadi pemerintah belum condong ke sistem kombinasi," katanya.
ODELIA SINAGA