TEMPO.CO, Kupang - Presiden RI Joko Widodo didesak untuk menyita aset milik PTT Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP) senilai US$ 3,5 miliar karena menolak bertanggung jawab atas pencemaran di Laut Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), akibat meledaknya ladang minyak Montara di Blok Atlas Australia pada 21 Agustus 2009.
"Kami juga meminta pemerintah mencabut kesepakatan di Laut Timor pada 1997, yang hingga saat ini belum diratifikasi," kata Ketua Tim Advokasi Petani Rumput Laut NTT, Ferdi Tanoni, kepada Tempo, Senin, 22 Agustus 2016.
Tuntutan disampaikan karena masalah pencemaran Laut Timor sudah berjalan selama tujuh tahun namun tak kunjung terselesaikan. Bahkan PTTEP menolak bertanggung jawab atas pencemaran tersebut, sehingga rakyat NTT menggugat PTTEP di Pengadilan Federal Australia di Darwin.
Pencemaran minyak di Laut Timor menyebabkan kehidupan nelayan di NTT terganggu. Nelayan di Oesapa, Kota Kupang, misalnya, mendapatkan hasil tangkapan hingga 70 persen. "Sebelum tercemar, penghasilan kami di Laut Timor bisa mencapai Rp 20 juta, namun saat ini hanya memperoleh Rp 5 juta," kata Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Laut Timor (Antralamor) Mustafa.
Akibatnya, dia melanjutkan, sebagian nelayan harus beralih profesi sebagai penjual kayu. Jika tetap mencari ikan, lahannya bukan lagi di Laut Timor, tapi di Kalimantan. "Saya saja sudah beralih profesi sebagai penjual kayu," katanya.
Nelayan lainnya, Gab Oma, mengisahkan dirinya sempat menimba tumpahan minyak sepekan setelah meledaknya kilang minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor. Sejak itu, sumber daya Laut Timor yang kaya akan ikan kakap merah mulai berkurang akibat habitat mereka tercemar.
"Oesapa yang dulunya sebagai gudang ikan untuk daratan Pulau Timor, kini hanya tinggal kenangan. Ikan-ikan kering yang dijual bukan hasil tangkapan dari Laut Timor, tapi didatangkan dari Kalimantan," kata Oma.
YOHANES SEO