TEMPO.CO, Yogyakarta - Meski diskusi dan peluncuran buku berjudul Aidit, Marxisme-Leninisme dan Revolusi Indonesia terancam dibubarkan organisasi massa, tapi acara itu tetap berjalan karena memang isinya hanya diskusi soal pemikiran tokoh itu.
Bedah buku yang digelar di Indie Book Corner di Dongeng Kopi, Gorongan, Depok, Sleman, Sabtu malam pekan lalu, itu berjalan lancar. Pesertanya kebanyakan mahasiswa dan aktivis. "Memang sempat ada ancaman untuk dibubarkan. Kami justru mengajak orang yang ingin membubarkan menjadi salah satu narasumber," kata pendiri Indie Book, Irwan Bajang, Sabtu malam, 20 Agustus 2016.
Baca Juga:
Menurut Irwan, penentang diskusi memang sengaja diajak menjadi peserta dan pembicara. Jika ada yang tidak sesuai dengan pemikiran mereka, bisa diungkapkan dalam diskusi itu. "Sebagai pembanding pemikiran saja dalam koridor diskusi," tuturnya.
Penulis buku setebal 150 halaman lebih ini adalah Satrio Prio Utomo. Buku itu dibuat berdasarkan skripsinya dengan judul yang sama di Universitas Negeri Jakarta Jurusan Ilmu Sejarah 2015. "Saya sangat menghargai universitas yang mau menerima kajian ilmiah, apa pun dan siapa pun yang punya pemikiran revolusioner," tuturnya.
Satrio menegaskan, dia bukanlah simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). “Bahkan saya tidak suka dengan sosok Ketua PKI D.N. Aidit,” ujarnya. Dari hasil penelitiannya, ternyata pemikiran Aidit mengandung 50 persen pemikiran Sukarno, presiden pertama Indonesia. Sedangkan 50 persen lagi adalah pemikiran Tan Malaka.
Dalam buku ini, kata Satrio, Aidit merupakan sosok dan tokoh yang sangat dekat dengan kaum proletar di zamannya, yaitu buruh tambang yang ada di tempat kelahirannya, Belitung. “Ajaran Marxisme yang dianut Dipa Nusantara Aidit ini menjadi sempurna setelah belajar dari Sukarno,” katanya.
Menurut Muhidin, moderator diskusi ini, Aidit merupakan sosok yang getol memberantas buta huruf pada 1964. Ia merupakan tokoh partai politik yang menguatkan organisasi tidak dengan senjata. Melainkan dengan literasi. "Dia merupakan tokoh literasi," tuturnya.
Bagi Aidit, kata dia, pendidikan paling berat adalah mendidik kader untuk mengerti ideologi partai. Cara supaya kader bisa mengerti, Aidit membuat semacam jurnal yang dibagikan kepada kadernya. "Buku tentang Aidit ini seperti bahan sontekan, sosoknya jadi bahan omongan, tetapi tak bisa terang-terangan," katanya.
MUH SYAIFULLAH