TEMPO.CO, Yogyakarta - Diskusi buku Aidit dan Revolusi Indonesia terancam dibubarkan organisasi pemuda dan kemasyarakatan. Lokasi diskusi, yakni di warung kopi Dongengkopi & Indiebook di Jalan Wahid Hasyim nomor 3, Gorongan, Caturtunggal, Sleman, saat ini sudah dikerumuni banyak orang. "Ada yang minta supaya diskusi tidak dilakukan," kata pendiri Indiebook, Irwan Bajang, Sabtu, 20 Agustus 2016.
Diskusi ini menjadi sorotan organisasi pemuda dan kemasyarakatan di Daerah Istimewa Yogyakarta lantaran dianggap berpotensi menyebarkan ajaran Aidit yang identik dengan komunisme.
Buku karangan Satrio Prio Utomo, yang jumlah halamannya lebih dari 150, ini diterbitkan Indiebook Corner 2016. Tulisan dalam buku tersebut berdasarkan pada skripsi jurusan Ilmu Sejarah Universitas Negeri Jakarta 2015.
Beberapa orang dari organisasi massa dan kepemudaan datang menanyakan diskusi ini. Beberapa pihak juga menelepon penyelenggara supaya diskusi dibatalkan. Sebab, setting lokasi diskusi merupakan warung kopi yang memang tidak begitu kelihatan jika akan ada diskusi.
Meski ada ancaman pembubaran, sudah banyak orang yang datang di lokasi untuk mengikuti diskusi buku ini.
Satrio menyatakan buku ini diterbitkan sebagai alternatif bacaan. Buku-buku banyak didominasi tentang Sukarno, Syahrir, dan Tan Malaka. Buku pun diterbitkan untuk meningkatkan kepedulian pembaca. "Pemikiran Aidit itu 50 persen pemikiran Sukarno dan 50 persen Tan Malaka," katanya.
Dia menyatakan pemilihan skripsi ini memang disetujui universitas. Ia mengapresiasi pihak kampus yang masih menerima pemikiran dari para mahasiswa. "Menulis buku ini, saya tegaskan, saya bukan PKI (Partai Komunis Indonesia), saya tidak suka Aidit," ucapnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Daerah Istimewa Yogyakarta Hamzal Wahyudin, yang ikut dalam rencana diskusi, menyatakan hal itu merupakan hak warga negara dan dijamin undan-undang. Diskusi buku apa pun menjadi bagian dari kebebasan berekspresi dan tidak boleh ada yang melarang karena pasti ada nilai positifnya. Apalagi yang didiskusikan adalah buku soal sejarah. "Kenapa harus dilarang? Ambil positifnya," ujarnya.
MUH SYAIFULLAH