TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo mengatakan penuhnya lembaga permasyarakatan (LP) dengan para kriminal tidak seharusnya menjadi alasan pemerintah untuk mengurangi penghuni LP. "Mestinya kalau lapas penuh, ya membangun lapas (lagi)," kata Agus dalam acara jumpa media dengan KPK di Tanakita, Sukabumi, Jumat, 19 Agustus 2016.
Pernyataan itu disampaikan sehubungan dengan alasan pemerintah memberikan remisi kepada para koruptor. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan bahwa pemberian keringanan hukuman alias remisi terhadap narapidana sudah sesuai ketentuan hukum. Mempersulit pemberian remisi, menurut dia, akan berdampak pada kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan. "Kalau tak ada remisi, kita harus membangun lapas. Waduh, tak tahu lagi, lah," ujar Laoly di kompleks Kemkumham, Kuningan, Jakarta, Rabu, 17 Agustus 2016.
Laoly mengklaim sudah ada tambahan sekitar 40 ribu unit LP yang dibangun, selama dia menjabat menteri. Namun, itu belum sepadan dengan warga binaan yang per 11 Agustus lalu, jumlahnya mencapai 199.390 orang. "Dulu saja pun sudah setengah mati banyaknya (LP). Membangun lapas itu sudah Rp 100 sekian miliar, untuk yang kapasitas seribu (orang)."
Kementerian Hukum dan HAM berencana merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam revisi itu ada hal yang memudahkan bagi koruptor untuk mendapatkan remisi. Kementerian beralasan penjara sudah penuh sehingga para kriminal itu harus segera keluar.
Agus tak setuju dengan alasan Menteri Yasonna. Menurut dia, jika penjara tak bisa menampung jumlah penjahat, negara seharusnya membangun penjara dengan kapasitas yang lebih banyak.
Pemerintah seharusnya memikirkan langkah konkret untuk mengurangi jumlah penjahat jika tak ingin membangun LP. "Seharusnya mereka itu bertanya, kenapa penjahat semakin banyak?"
Pada 15 Agustus 2016, Agus mengirim Kepala Biro Hukum KPK Setiadi ke Kementerian Hukum dan HAM untuk menolak remisi untuk para koruptor. Kedatangan utusan KPK itu merupakan undangan Kemenkumham yang ingin meminta tanggapan mengenai revisi PP Nomor 99 Tahun 2012. "Kami tetap menyatakan sikap. Kalau memang tidak diterima, kami WO aja dari pembahasan itu."
Selain mengirim utusan ke Kemenkumham, Agus juga mengirim surat ke Menteri Hukum dan HAM yang ditembuskan ke Presiden Joko Widodo. "Biar nanti Presiden yang menentukan," katanya.
PP Nomor 99 Tahun 2012 saat ini dianggap bertentangan dengan undang-undang, terutama UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Yasonna berharap revisi PP 99 Tahun 2012 tidak menimbulkan diskriminasi terhadap narapidana. Secara prinsip, kata dia, semua pihak yang terlibat dalam pembahasan draf revisi PP setuju dengan tidak adanya diskriminasi.
MAYA AYU PUSPITASARI