TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia, Said Salahudin, mengatakan sinyal dukungan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri kepada Basuki Tjahaja Purnama hanya klaim sepihak dari pria yang akrab disapa Ahok itu. "Sinyal dukungan Megawati sebenarnya sekadar klaim Ahok. Mungkin saja Ahok keliru menangkap maksud Mega. Namanya juga obrolan. Sangat mungkin muncul mispersepsi," ujar Said dalam pesan tertulisnya di Jakarta, Jumat, 19 Agustus 2016.
Said mengatakan beda halnya jika Megawati menyatakan dukungannya secara tertulis. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, yang menegaskan kembali PDIP belum mengambil keputusan resmi untuk mencalonkan Ahok. Saat pilkada tak langsung 2002 dan pilkada langsung 2012 digelar, Mega awalnya pernah disebut menolak petahana pada 2002 dan memberi sinyal dukungan kepada petahana pada 2012. Namun, di menit akhir, PDIP mendukung Sutiyoso dan tidak mendukung Fauzi Bowo.
Baca: Ahok: Tanpa Semua Partai Saja Saya Berani
Apabila sinyal dukungan itu memang benar-benar diberikan Mega kepada Ahok, artinya Ahok tidak merekayasa fakta itu dan sekadar ingin jujur kepada publik. "Dalam konteks ini, tidak ada yang salah dari pernyataan Ahok," ujarnya. Namun, karena yang disampaikan Ahok adalah pernyataan politik, menurut Said, sulit mengatakan tidak ada motif politik yang menyertai maksud penyebarluasan kabar klaim dukungan sepihak tersebut kepada publik.
"Nah, salah satu kemungkinannya, Ahok mungkin sengaja menyampaikan hal tersebut sebagai siasat dirinya mengerem isu terkait dengan semakin meluasnya penolakan yang datang dari elite dan kader PDI Perjuangan terhadap Ahok," ucap Said. Melalui taktik itu pula Ahok menargetkan bisa mengunci pergerakan elite dan kader PDIP yang tidak menginginkannya diusung partai itu. "Masih terbuka kemungkinan juga PDIP mengusung calon lain. Politik ini dinamis sekali."
Baca: Mega Dukung Ahok, Koalisi Bisa Bubar
Ihwal klaim meminta dukungan PDIP, belakangan Ahok membantah. Menurut Ahok, kehadirannya di markas PDI Perjuangan bermaksud untuk meminta izin menggandeng Wakil Gubernur Jakarta Djarot Saiful Hidayat menjadi calon wakil gubernur dalam pilkada 2017. "Saya enggak minta PDIP (bergabung), loh. Saya minta Djarot mau enggak ikut saya menjadi wakil," kata Ahok, Jumat, 19 Agustus 2016. Ahok menceritakan perbincangannya dengan Megawati di kantor Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta.
"Saya nanyain, 'Saya sudah mau maju nih, sudah ada tiga tiket, aku minta Djarot boleh enggak?'," ujar Ahok. Buat Ahok, jika Djarot diizinkan berpasangan dengannya, terserah PDIP mau bergabung dengan tiga partai pengusungnya atau tidak. Sebab, kata Ahok, tanpa dukungan PDIP, ia bisa diusung Partai Hanura, NasDem, dan Golkar. Namun penjelasan Ahok bertolak belakang dengan versi PDIP. Menurut Ketua PDIP Andreas Hugo Pareira, Ahok secara tegas meminta dukungan dari partainya.
Baca: Ahok: Saya Minta Djarot, Bukan Minta PDIP Gabung
Andreas tak sedikit pun mengatakan Ahok hanya meminta izin untuk meminang Djarot. Menurut Andreas, partainya belum memutuskan akan mendukung salah satu calon dalam pilkada Jakarta. Namun Andreas membenarkan Megawati menerima kunjungan Ahok pada Rabu, 17 Agustus 2016, sekitar pukul 16.00 WIB, di kantor pusat. "Pertemuan tersebut merupakan inisiatif Pak Ahok,” ucap Andreas. Dalam pertemuan itu, Ahok diterima sebagai bakal calon gubernur.
Dia menjelaskan, pengurus teras PDIP mengenakan seragam resmi partai untuk menemui Ahok. Penggunaan seragam partai menandai proses kelembagaan seleksi calon kepala daerah. Dalam pertemuan itu, Ahok secara khusus menegaskan telah memutuskan menempuh jalur partai untuk maju pilkada. “Pak Ahok mengharapkan dukungan dari PDIP,” ucap Andreas. Ahok pun, kata Andreas, mengaku siap maju bersama Djarot sebagai calon wakil gubernur.
FRISKI RIANA | ANTARANEWS.COM | BC
Baca Juga
Begini Kisah Penyadap Nira yang Nyaris Ditabrak Pesawat
Pilgub DKI: 3 Sinyal Megawati dan PDIP, Ahok Bakal Mulus?