TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan bahwa pemberian keringanan hukuman, alias remisi terhadap narapidana sudah sesuai ketentuan hukum. Mempersulit pemberian remisi, menurutnya, akan berdampak pada kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan.
"Kalau tak ada remisi, kita harus bangun Lapas. Waduh, tak tahu lagilah," ujar Laoly saat dicegat di komplek Kemenkumham, Kuningan, Jakarta, Rabu, 17 Agustus 2016.
Laoly mengklaim sudah ada tambahan sekitar 40 ribu unit lapas yang dibangun selama dia menjabat sebagai Menkumhan dua tahun terakhir. Namun, jumlah tersebut, belum sepadan dengan warga binaan yang per 11 Agustus lalu, jumlahnya tercatat mencapai hampir 200 ribu orang.
"Dulu saja pun sudah setengah mati banyaknya (lapas). Membangun lapas itu sudah Rp 100 sekian miliar, untuk yang kapasitas seribu," ujar Laoly.
Baca: HUT Kemerdekaan RI, 82 Ribu Narapidana Dapat Remisi
Laoly menyesalkan munculnya pihak yang mempermasalahkan pemberian remisi terhadap napi kasus korupsi. Menurutnya, sudah ada seleksi ketat, terkait pemberian remisi untuk napi kejahatan khusus (extraordinary crime), seperti napi koruptor dan teroris.
Para napi diwajibkan memenuhi syarat yang disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. "Setiap napi punya hak untuk dapat remisi, tapi ada aturannya, jadi bukan asal dikasih," tutur Laoly.
Penolakan pemberian remisi terhadap napi koruptor, salah satunya diungkapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo. Menurutnya, koruptor tidak pantas mendapat remisi. “Ya janganlah, kami kan ingin memberikan efek jera,” ujarnya di Jakarta, 10 Agustus lalu.
Kata Agus, KPK justru sedang memikirkan langkah memperberat hukuman buat koruptor. Selain hukuman fisik berupa penjara, koruptor pun wajib mengganti kerugian negara. KPK juga akan menerapkan denda secara tegas kepada koruptor. “Kalau (soal) koruptor, harapan kami, jangan ada remisilah,” katanya.
YOHANES PASKALIS