TEMPO.CO, Jakarta - Ada kegiatan tak biasa di langgar Al-Istiqomah, Depok, dalam enam bulan terakhir ini. Selasa siang dua pekan lalu, misalnya, bukan salat zuhur yang terselenggara, melainkan bimbingan belajar antara dua siswa dan seorang tutor di tengah ruangan seluas separuh lapangan badminton itu.
Tatapan dua siswa itu, Muhammad Ficki dan Muhammad Revo Nadrian, melulu tertuju pada bagan yang digores Cindy Jaine, tutor mata pelajaran Biologi, di papan tulis.
Adalah Abdul Basir, Aprilia Nur Fitriani, dan Lintang Matahari Hasani yang membuat surau sekalipun bisa menjadi lokasi bimbingan belajar yang nyaman. Lewat pelantar (platform) digital Rumah Sinau, yang dirilis pada Juni 2015, tiga sekawan ini memanfaatkan ruang-ruang kosong sebagai pondok pengetahuan. “Rumah Sinau berawal dari kegelisahan saya sebagai guru,” ujar Abdul, mantan guru biologi di SMA Negeri 28 dan SMA Negeri 70 Jakarta ini.
Abdul Basir atau disapa Abas, salah satu pendiri dan pengelola Rumah Sinau
Sumber keresahannya adalah rutinitas para muridnya yang mengikuti bimbingan belajar sepulang sekolah. Mereka harus menempuh jarak yang jauh dari rumah atau sekolah ke tempat kursus. Belum lagi durasi studi tambahan itu sering berlangsung hingga larut malam. “Air muka lelah dan bosan tampak di wajah anak didik saya di kelas,” tuturnya.
Abas—panggilan akrab Abdul—mencoba mencari solusi. Akhirnya, lulusan Universitas Indonesia ini mengenal aplikasi Airbnb, pelantar digital yang berisi informasi penyewaan ruang rehat saat vakansi. Aplikasi ini mengilhami Abas untuk membuat pelantar penyewaan ruang khusus untuk aktivitas pendidikan yang ia beri nama Rumah Sinau.
Pria kelahiran Jakarta ini yakin banyak ruang di rumah ataupun kantor di kota metropolitan seperti Jakarta yang tak melulu digunakan. Lagi pula, tutur Abas, ruang menganggur itu sangat representative untuk menjadi tempat belajar. Toh, tak mudah mencari ruang studi yang aman, nyaman, serta dekat dari rumah di kota besar.
Lewat Rumah Sinau, ruang menganggur itu bisa didaftarkan menjadi lokasi studi. Pemilik ruang bebas menentukan tarif per jam. Dari biaya sewa yang dikenakan, Rumah Sinau mengutip 10 persen untuk biaya administrasi. “Orang tua yang resah lantaran lokasi kursus anaknya amat jauh bisa mendaftarkan rumahnya sendiri atau ruang kosong di dekat rumah,” kata Abas.
Namun Rumah Sinau tak sekadar menyediakan ruang belajar. Abas mengajak anak-anak muda berpartisipasi alias tak sekadar menjadi peserta didik penyewa ruang belaka. Mereka bisa terlibat dengan menjadi tutor atawa guru sesuai dengan bidang studinya, seperti yang dilakukan Cindy, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, di langgar Al Istiqomah itu.
Layaknya sistem terpadu satu atap, pelajar bisa memenuhi dua kebutuhan sekaligus lewat Rumah Sinau, yakni ruang belajar dan pengajar. Selang setahun sejak dirilis ke publik, Rumah Sinau sukses menghimpun lebih dari 190 tutor. Mereka telah berbagi ilmu di lebih dari 150 rumah mitra yang tersebar di sekitar 20 kota di Indonesia. Dari aktivitasnya, Rumah Sinau bisa menghasilkan pendapatan Rp 25 juta per bulan. Kini, Abas, yang telah bekerja full-time di Rumah Sinau, dibantu oleh empat rekannya dalam mengembangkan pelantar digital ini.
Susana Yuliani, 48 tahun, adalah orang tua yang merasakan manfaat kehadiran Rumah Sinau. Ibunda Dafi Aditya Reyhan, peserta didik Rumah Sinau, itu menyewakan ruang tamunya di Pejaten, Jakarta Selatan, sebagai ruang belajar. Ruang tersebut kerap dipakai anaknya serta peserta didik lainnya untuk kursus.
Susana mengatakan Rumah Sinau membuat orang tua dan anak tak perlu repot pergi jauh dari rumah untuk menjalani kursus. Mereka tinggal mencari ruang kosong, mendaftar ke Rumah Sinau, kemudian ruang menganggur itu bisa dimanfaatkan. “Suasana belajar juga santai, anak-anak bisa lesehan, sehingga materi mudah diterima,” kata dia.
RAYMUNDUS RIKANG