TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta agar pemanfaatan status justice collaborator yang selama ini digunakan sebagai syarat remisi ditelusuri.
Penelusuran tersebut terkait dengan pernyataan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia I Wayan Kusmiantha Dusak, yang pernah mengatakan kepada media bahwa pelaksanaannya justru dimanfaatkan beberapa penegak hukum yang tidak taat prosedur, dan membuat status justice collaborator menjadi komoditas yang diperjualbelikan.
Direktur Eksekutif Supriyadi W. Eddyono mengatakan, sebagai awalan, perlu dilakukan pengecekan terhadap seluruh terpidana korupsi setelah tahun 2012 (berdasarkan Peraturan Menteri) yang mendapatkan status dari aparat penegak hukum, terutama Jaksa, Polisi dan KPK.
“Status justice collaborator tidak boleh sembarangan diberikan, dan label justice collaborator juga dilakukan saat proses penuntutan dan secara resmi dinyatakan dalam tuntutan. Di luar skema tersebut maka justice collaborator bisa jadi hanya untuk memfasilitasi remisi,” ujar Supriyadi W. Eddyono dalam pesan tertulisnya, Selasa, 16 Juni 2016.
Selain itu, status justice collaborator juga harus dipublikasikan ke publik sejak awal. Bukan diminta di ujung ketika hendak memohon remisi. “Berdasarkan catatan ICJR, hal ini mungkin terjadi karena SOP mengenai justice collaborator di kejaksaan juga tidak pernah dipersiapkan. Akibatnya dicurigai banyak implementasi yang berbeda-beda,” kata Supriyadi.
Berdasarkan data yang diperoleh ICJR dari presentasi Center for Detention Studies (CDS) pada Senin, 15 Agustus 2016 di Jakarta, ditemukan bahwa Kejaksaan sebagai institusi yang paling “rajin” mengeluarkan status justice collaborator dengan jumlah mencapai 670 orang sepanjang 2013 sampai dengan Juli 2016, tepat setelah PP 99 Tahun 2012 mulai berlaku.
DESTRIANITA