TEMPO.CO, Yogyakarta - Selama beberapa tahun terakhir, permukaan air tanah di Yogyakarta menurun. Sebab utamanya, adanya pembangunan hotel yang luar biasa banyak. Air sumur warga pun banyak yang kering. Lima kecamatan di kota mulai krisis air.
"Selain hotel, ada lagi apartemen yang jumlah kamarnya banyak, dan butuh banyak air," kata Direktur Amrta Instutute, Nila Ardhianie, dalam diskusi “Kemerdekaan dan Air Untuk Warga” di University Club Universitas Gadjah Mada, Senin (15 Agustus 2016).
Selain diskusi, juga pemutaran film dokumenter "Jogja Darurat Air", berdurasi 18 menit. Lima kecamatan yang mulai krisis air, adalah Gondokusuman, Mergangsan, Mantrijeron, Jetis, serta Umbulharjo.
Meski sumur yang digunakan adalah sumur dalam, kata Nila, tidak menutup kemungkinan ada kebocoran di jalur air sumur dangkal. Dia menjelaskan, Kecamatan Gondokusuman merupakan daerah paling rawan krisis air, karena merupakan wilayah padat penduduk dan banyak hotel.
Padahal, kata dia, warga sangat tergantung air sumur, meski juga berlangganan air PDAM. Saat ini sekitar 51,83 persen kebutuhan air warga Yogyakarta dipenuhi air tanah. Berbeda dengan di Jakarta dan sejumlah kota besar lain, yang seluruh warganya memenuhi kebutuhan air dengan air permukaan atau PDAM. “Air tanah di Yogyakarta memiliki nilai rendah. Sehingga pemakaiannya cenderung berlebihan,” kata dia.
Dia menjelaskan, tarif pajak air tanah di Yogyakarta hanya Rp. 2.000 per meter kubik. Sedangkan tarif air PDAM untuk bangunan komersial, termasuk hotel Rp. 16.500 per meter kubik. "Sebagian besar hotel dan apartemen tidak menggunakan air PDAM karena biaya yang dikeluarkan cukup tinggi. Contohnya hotel dengan 400 kamar membutuhkan dana Rp2 miliar per bulan. Sedangkan untuk membuat sumur dalam, hanya butuh biaya sekitar Rp500 juta," kata dia.
Geolog Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Teguh Eko Paripurno, mengatakan permukaan air tanah di Yogyakarta dan Sleman terus menurun 20-35 sentimeter setiap tahun. Karena itu warga mulai kesulitan mendapatkan air tanah. “Pastikan imbuhan air seimbang dengan air yang diambil atau digunakan," kata dia.
Teguh Supriyadi, sutradara film Jogja Darurat Air, menyatakan pembuatan film ini karena kondisi air di kota Yogyakarta sudah parah. Jika tidak diatur, warga akan kehilangan air baku untuk kehidupan mereka. "Premis film ini berangkat dari situasi, hingga pada 2010, warga tidak pernah sambat sumurnya asat atau kering. Tetapi pada 2013 hingga 2014, warga mulai kesulitan air. Sumur-sumur mereka kering," kata dia.
MUH SYAIFULLAH