TEMPO.CO, Jakarta - Masih ada fakta yang belum terang dari penjelasan Menteri Sekretaris Negara Pratikno soal status kewarganegaraan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar. Apakah Arcandra warga negara Indonesia atau Amerika Serikat atau keduanya?
"Jadi kami ingin tegaskan bahwa Pak Arcandra Tahar adalah pemegang paspor Indonesia," kata Pratikno, kepada wartawan seusai acara HUT Gerakan Pramuka Ke-55 di Cibubur, Jakarta, pada 14 Agustus 2016.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo yang meminta Arcandra kembali ke Indonesia setelah lama bermukim di Amerika Serikat. Permintaan Presiden, katanya, dilatari banyak sekali orang Indonesia yang hebat di luar negeri. "Apalagi Pak Archandra punya kualifikasi internasional, dan seorang manager yang hebat di perusahaan beliau disana," kata Pratikno.
Mantan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono lewat akun Twitter @edo751945 memuji Arcandra setinggi langit. Menurut Hendro, Arcandra terkenal di AS sebagai seorang genius, yang memiliki 6 hak paten internasional ESDM dari penemuan-penemuan teknis hasil risetnya sendiri di berbagai negara.
Pensiunan jenderal bintang empat itu mengklaim, Arcandra rela meninggalkan Amerika Serikat dengan gaji miliaran rupiah sebulan. "Dia siap dipanggil pulang untuk ikut membangun negerinya sendiri, walau hanya dengan gaji Rp 40 jutaan per bulan," kata Hendro yang men-twit tagar #ArchandraAnakBangsa.
Arcandra Tahar kuliah di Texas A&M University of America dengan beasiswa dari PT Timah. Dia mengambil jurusan Ocean Engineering dan mendapat doktor tahun 2001. Lalu Arcandra diketahui sempat bekerja sebagai President Direktur Petroneering di Houston, Amerika Serikat.
Profesor Emil Salim juga menyebarkan komentarnya lewat akun @emilsalim2010. Pada 14 Agustus 2016 pukul 16.31, membuat dua cuitan. Mengejutkan, katanya, sang Menteri RI adalah warga asing yang setia bela negara asing. Pertanyaannya, ujarnya, apakah credentials calon Menteri tidak diteliti dulu?
"Bila sang Menteri mudah bolak-balik dari warga negara satu ke lain, perlu dipertanyakan dimana ketetapan hati dalam memilih Ibu Pertiwi?," tanya Emil yang gelar doktornya diperoleh dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat tahun 1964.
Pertanyaan Emil Salim sangat tajam terkait nasionalisme dari warga Indonesia yang berdiaspora di luar negeri. Rupanya sejumlah negara maju kerap memberi fasilitas dan janji bagi orang Indonesia yang berprestasi.
Salah satunya adalah Sonny Mumbunan, yang kini menjadi peneliti di Research Centre for Climate Change UI. Dia meraih gelar MSc dalam empirical economics and policy advise dari Martin Luther University Halle–Wittenberg, Jerman pada 2008. Gelar PhD bidang ilmu ekonomi ia peroleh dari Universitaet Leipzig, Jerman.
Irisan antara ilmu ekonomi, ilmu ekologi dan ilmu sosial ia dalami di Helmholtz Center for Environmental Research Jerman, tempat ia menulis disertasi doktoral. Juga di Thor Heyerdahl Summer School on Institutions for Sustainable Development, Norwegian University of Life Sciences.
Selain itu di Marie Curie Summer School on Emerging Theories and Methods in Sustainability Research, Universidade Nova de Lisboa, Portugal. Sonny belajar tentang tata kelola ekonomi dari Elinor Ostrom, perempuan pertama penerima hadiah Nobel Ekonomi.
Selama kuliah, Sonny yang lahir di Minahasa tahun 1976, mendapat beasiswa sebagai Heinrich Boell Fellow dengan dana dana dari Kementerian Luar Negeri Jerman. Termasuk riset di Helmholtz Gesselschaft, salah satu komunitas riset terpenting Jerman. Peraih Nobel Kimia 2014, Nobel Kedokteran 2008, dan Nobel Fisika 2007 adalah ilmuan yang meneliti di komunitas Helmholtz.
Sonny menjelaskan lembaga pemberi beasiswa menawarkan fasilitas untuk pindah kewarganegaraan. Tawaran itu biasanya diberikan kepada pada para mahasiswa penerima beasiswa sangat kompetitif yang menurut komite seleksi sebagai "bertalenta tinggi" (hoch talentierte).
Tujuannya antara lain untuk mempertahankan mereka yang berkualifikasi tinggi di bidang yang spesifik guna memberi sumbangan pada Jerman. Mereka mengiming-imingi akan menerima bantuan dana jangka panjang selama riset di negara tersebut. "Surat untuk fasilitas perpindahan kewarganegaraan itu tidak saya tandatangani dan tak saya sampaikan ke pemberi beasiswa," kata Sonny pada Tempo, 15 Agustus 2016.
Memang tawaran itu sifatnya sukarela, tidak wajib. Menurut Sonny, pemerintah Amerika Serikat agresif menawarkan pindah kewarganegaraan. Tidak sedikit peneliti terdepan warga Eropa yang ditawarkan fasilitas besar untuk riset dan jadi faculty member di kampus-kampus di Amerika Serikat.
Namun ada yang menolak, ada pula yang menerima bersyarat, misalnya, home base-nya tetap di kampus Eropa tetapi menjadi pengajar di MIT. Contohnya kasus Ernst Fehr yang berkali-kali dinominasikan akan mendapatkan hadiah Nobel ekonomi.
Sonny menjelaskan banyak orang muda Indonesia yang berdiaspora dan berprestasi, namun akhirnya kembali ke Tanah Air dan tidak menjadi warga negara asing. Menurutnya, pemerintah dan semua pihak perlu memikirkan bersama bagaimana Indonesia semakin menarik bagi para lulusan luar negeri dan diaspora itu.
Memang, ada beragam alasan kembali ke Indonesia, mulai dari kedekatan historis dan kultural. Untuk Sonny, ada hal lain lagi yang tidak kalah penting.
"Dalam bidang saya, membantu menyelesaikan persoalan keberlanjutan (sustainability) lebih berdampak besar bila dilakukan di Indonesia dan bersama-sama masyarakat setempat," kata Sonny yang aktif dalam International Society for Ecological Economics (ISEE).
Beberapa waktu lalu, Sonny dan Tjokorda Nirarta Samadhi menerbitkan buku berjudul Tambang, Hutan dan Kebun. Sonny juga menjadi reader di Thamrin School of Climate Change and Sustainability.
Selain itu, Sonny mendirikan Paguyuban Makara, sebuah paguyuban epistemik untuk pemajuan gagasan tentang keberlanjutan di Indonesia melalui kegiatan diskusi dan bedah literatur.
UNTUNG WIDYANTO