TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini, menilai mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat enggan memasukkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) ke Program Legislatif Nasional 2017.
Menurut Lita, dari sepuluh fraksi di legislatif, hanya Partai NasDem dan Partai Keadilan Sejahtera yang bersedia menerima permintaan audiensi Jala PRT untuk memasukkan RUU Perlindungan PRT ke Prolegnas 2017. Artinya, hingga saat ini, hanya 20 persen fraksi yang terbuka terhadap masukan perlunya RUU Perlindungan PRT. “Kami sampai surati satu fraksi lima kali seminggu, tapi minim balasan,” kata Lita dalam keterangan resmi di Jakarta, Minggu, 14 Agustus 2016.
Lita menganggap RUU PRT mendesak untuk disahkan karena tidak ada payung hukum untuk melindungi PRT di dalam negeri. Ia memperhitungkan, sampai pertengahan Mei 2016, terdapat 121 kasus kekerasan terhadap PRT. "Ini yang belum terangkat di media. Kami tahu itu karena kami mendampingi PRT,” ucap Lita.
Ia menambahkan, 95 persen kasus kekerasan PRT yang diadukan justru macet di kepolisian. Pada 2015, Jala PRT mencatat adanya 402 kasus kekerasan PRT. “Hanya sedikit sekali kasus yang sampai ke pengadilan,” ujarnya. Terakhir, tutur dia, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara terhadap mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Fanny Safriansyah alias Ivan Haz, yang terbukti menganiaya tiga PRT di rumahnya.
Capacity Building Officer ILO Jakarta, Muhamad Nour, menilai Indonesia tertinggal oleh Filipina dalam hal perlindungan PRT. Sebab, Filipina telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tentang Pekerja yang Layak bagi PRT. “Di Asia Tenggara, ada Filipina yang sudah ratifikasi. Mereka mengegolkan UU PRT,” katanya.
Konvensi 189 merupakan konvensi yang menetapkan standar hak-hak dan prinsip dasar bagi negara untuk mewujudkan kerja layak bagi pekerja rumah tangga. "Konvensi ini sangat respek terhadap adat-istiadat setempat,” ucapnya.
ARKHELAUS W.