TEMPO.CO, Jakarta - Dukungan untuk Haris Azhar berdatangan, menyusul ancaman Mabes Polri dan BNN mengkriminalkan aktivis HAM ini. Khalayak menilai, Haris tengah membela kepentingan publik.
Aktivis Serikat Petani Kerawang, Engkos Koswara, mengatakan peristiwa yang menimpa Haris menambah panjang rentetan kriminalisasi yang terjadi di Indonesia. "Kriminalisasi tersebut terjadi begitu masif di serikat petani," kata Engkos dalam jumpa pers, Selasa, 9 Agustus 2016, di Sekretariat Konsorsium Pembaruan Agraria, Pancoran, Jakarta.
Jumpa pers itu dihadiri puluhan aktivis serikat petani dari beberapa daerah. Di antaranya Serikat Petani Majalengka, Serikat Tani Indramayu, dan Aliansi Petani Indonesia. Mereka menunjukkan solidaritas terhadap Haris atas kriminalisasi yang menimpanya dan akan berdiri di belakang koordinator KontraS tersebut saat ia menghadapi kasusnya.
"Kami mengutuk sekeras-kerasnya kriminalisasi yang dilakukan aparat negara terhadap Haris. Begitu juga dengan kaum tani di seluruh Indonesia," ucap Engkos.
Aktivis Serikat Tani Indramayu, Asep Maulana, mengatakan kasus yang menimpa Haris merupakan sebuah kelucuan. Menurut dia, seharusnya, aparat hadir bersama rakyat persoalan yang menimpa rakyat terjadi. "Yang terjadi kenapa negara justru menindas dengan melakukan kriminalisasi?" kata Asep.
Dia menceritakan kasus yang terjadi di Indramayu. Dalam kasus itu, aparat negara justru menjadi calo tanah. "Bukan hanya polisi, tapi juga TNI," kata Asep. Aparat dianggap mencaplok tanah dari rakyat dan menjualnya ke perusahaan.
Asep mengaku frustrasi terhadap aparat yang mengkriminalisasi petani. Padahal petani-petani itu memperjuangkan hak mereka. Bukannya membela rakyat, aparat justru melaporkan mereka. "Saya sedikit frustrasi. Sebagai orang waras, melihat aparat yang sedikit-sedikit melaporkan, sedikit-sedikit mempidanakan. Mental aparat bagaimana itu," kata Asep.
Kasus Haris, yang mirip dengan kasus kaum tani, itulah yang membuat mereka menyatakan mendukung penuh aktivis tersebut. Ketua Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin mengatakan, hingga saat ini, masih banyak kriminalisasi yang terjadi di sektor agraria. Contohnya Eva Bande di Sulawesi Tengah, yang ditangkap akibat berkonflik dengan perusahaan swasta.
Eva dituduh memprovokasi warga untuk merusak fasilitas perusahaan. Dia akhirnya bebas karena diberi grasi oleh Presiden. "Tapi perampasan lahan di tempatnya masih terus berlangsung hingga saat ini," kata Iwan.
Ada juga Sunarji dari Sambirejo, Sragen, yang ditangkap karena menolak memberi lahannya pada PTPN IX. Sunarji akhirnya ditangkap karena dituduh menghasut warga merusak fasilitas milik PTPN IX. Begitu juga kasus Abdul Rojak dari Indramayu. Menurut Iwan, Rojak ditangkap bersama teman-temannya karena melawan tindakan Perhutani yang mengklaim lahan milik warga.
"Hampir 2 tahun pemerintahan Jokowi berjalan, kriminalisasi di sektor agraria terus meluas dan tidak memperlihatkan indikasi serius dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut," kata Iwan.
Laporan KPA menunjukkan, selama 2004-2014, jumlah aktivis agraria yang ditangkap mencapai 1.395 orang. "Pada 2015, ada 278 petani atau aktivis yang dikriminalisasi, ditangkap, ditahan, hingga dipidana secara paksa," tutur Iwan.
AMIRULLAH