TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama telah memutuskan untuk menggunakan jalur partai politik dalam pemilihan kepala daerah tahun depan. Namun gubernur yang akrab disapa Ahok ini menampik bahwa keputusannya itu dipengaruhi saran Presiden Joko Widodo.
“Oh enggak, enggak,” kata Ahok di Balai Kota DKI, Senin, 8 Agustus 2016. “Pak Jokowi tuh aku kenal beliau empat tahun. Beliau tuh enggak pernah maksa ngarahin kamu (Ahok) ikut (parpol), enggak pernah.”
Namun Ahok tak memungkiri bahwa Jokowi selalu memberikan gambaran soal keputusannya itu. Ahok berujar, Jokowi pernah mengatakan ada risiko bila maju melalui jalur independen karena penafsiran Undang-Undang Pilkada mengenai verifikasi dukungan calon independen.
Ahok menuturkan UU Pilkada mengamanatkan bahwa satu juta pendukung—jumlah salinan KTP dukungan yang telah dikumpulkan relawan Teman Ahok melalui jalur perseorangan—harus ditemui semua. Aturan itu terdapat dalam Pasal 48 UU Pilkada yang berbunyi, “Verifikasi faktual terhadap dukungan pasangan calon yang tidak dapat ditemui saat verifikasi faktual, pasangan calon diberikan kesempatan menghadirkan pendukung calon yang dimaksud ke kantor panitia pemungutan suara (PPS) paling lambat tiga hari terhitung sejak PPS tidak dapat menemui pendukung tersebut.”
Diskusi antara dia dan Jokowi saat itu, kata Ahok, menafsirkan UU Pilkada, bahwa bisa saja lawan politiknya turut mengartikan bila pendukung tidak dapat ditemui, verifikasi menjadi cacat hukum. Akibatnya, pencalonan Ahok di jalur perseorangan juga dianggap cacat hukum.
“Kalau ditafsirkan seperti itu, lalu kamu digagalkan tidak nyalon, lalu mau apa? Ini kira-kira diskusi (kami) berdua,” tuturnya.
FRISKI RIANA