TEMPO.CO, Surabaya - Sambil terus konsentrasi di balik kemudi setir, Slamet, 50 tahun, memperlambat laju kendaraannya. Sopir lyn--sebutan lokal bagi angkutan umum di Surabaya-- itu menggerutu seharian hanya mendapatkan sedikit penumpang.
Slamet tak ambil pusing saat sebagian warga Jakarta riuh memanggil Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini untuk mencalonkan diri jadi gubernur. "Alah, itu permainan politik orang-orang di atas aja," ujarnya ketus kepada Tempo, sembari tetap memandangi jalanan, Sabtu, 6 Agustus 2016.
Pria asli Surabaya itu mengaku sudah 25 tahun menjadi sopir lyn jurusan Kupang-Benowo. Menurutnya, urusan pencalonan Risma ke Jakarta bukan urusan wong cilik seperti dirinya. "Yang saya tahu, sopir lyn kayak saya ini tambah sepi," ujarnya.
Setali tiga uang, perajin Kelompok Usaha Bersama Masyarakat Mandiri Putat Jaya, Atik Tri Ningsih juga menyatakan keberatan apabila Risma jadi diusung dalam pemilihan umum gubernur DKI Jakarta. "Saya sih nggak setuju kalau Bu Risma harus pindah ke Jakarta," kata dia. Alasannya, Risma masih punya pekerjaan rumah yang belum selesai kepada kota Surabaya.
Perempuan 35 tahun itu merujuk pada kondisi kampung tempatnya tinggal, Kupang Gunung Timur, yang masih satu kawasan dengan Dolly. Dolly yang terletak di Kecamatan Sawahan, dulu tersohor sebagai area prostitusi terbesar di Asia Tenggara. "Kan, program beliau di sini belum semuanya terealisasi."
Atik mengingatkan komitmen Risma terhadap eks lokalisasi Dolly. Wali kota perempuan itu berjanji akan menjadikannya kampung wisata atau sentra UMKM. "Nah ini kan belum terealisasi," kata dia.
Sebagai warga lokal, Atik juga mengakui jika bisnis esek-esek belum sepenuhnya tuntas pascapenutupan pada Juni 2014 silam. Tak lagi di rumah bordil, para pelacur bekas Dolly masih menjalankan usahanya dan berpindah tinggal di indekos perkampungan. "Jadi, ngomong protitusi kan masih banyak yang beredar," ujar dia.
ARTIKA RACHMI FARMITA