TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Kejaksaan membentuk tim khusus untuk menindaklanjuti pengaduan dari Boyamin Saiman. Boyamin adalah pengacara terpidana vonis mati Suud Rusli. Dia mengadukan jaksa ke Komisi Kejaksaan, Jumat, 5 Agustus 2016.
Boyamin melaporkan jaksa eksekutor pidana mati dan atasannya yang memerintahkan eksekusi hukuman mati kepada empat terpidana di Nusakambangan, Jawa Tengah, Jumat dini hari, 29 Juli 2016.
"Kami akan menelaah dan mengklarifikasi ke berbagai pihak sebelum mengeluarkan rekomendasi," kata anggota Komisi Kejaksaan Indro Sugianto melalui pesan WhatsApp, Sabtu, 6 Agustus 2016.
Indro mengatakan pembentukan tim khusus adalah prosedur tetap di lembaganya. "Terhadap pengaduan yang dinilai sangat penting akan dibentuk tim khusus untuk mengkaji dan menelaah secara lebih mendalam dan komprehensif," ujarnya.
Indro menjelaskan tim ini terdiri dari tiga komisioner didukung sekretariat dan kelompok kerja. Menurut Indro, tim ini bukan hanya mengkaji sah tidaknya eksekusi mati jilid III, tapi juga mengkaji perlindungan hak hukum semua terpidana terkait dengan hak grasi dan upaya hukum luar biasa lainnya sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi.
Klien Boyamin Saiman tidak termasuk terpidana yang ditembak mati pada eksekusi jilid III. Kapasitas Boyamin adalah selaku pemohon dan pemegang putusan peninjauan kembali Undang-Undang Grasi di Mahkamah Konstitusi.
Boyamin menjelaskan, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan dua putusan yang membatalkan pasal pembatasan pengajuan grasi. Awalnya, terpidana hanya boleh mengajukan grasi paling lama 1 tahun setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Setelah MK mengabulkan gugatan Boyamin, terpidana boleh meminta pengampunan meski telah lama divonis. Putusan MK tentang grasi itu bernomor 107/PUU-XIII/2015 dan 32/PUU-XIV/2016.
Kejaksaan Agung berbeda pendapat. Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Noor Rochmad, putusan ini tidak berlaku surut. "Saya sudah konfirmasi kepada Ketua MK bahwa aturan ini tidak berlaku surut, artinya untuk ke depan," kata dia sebelum pelaksanaan hukuman mati.
Boyamin berteguh bahwa siapa saja kini boleh mengajukan grasi tanpa batas waktu. "Gunanya apa dikabulkan oleh MK kalau kami tidak bisa mengajukan grasi," ujar Boyamin. Suud Rusli, kliennya, pernah mengajukan grasi pada 2015 namun ditolak oleh Presiden Joko Widodo. "Maka dari itu kami maju ke MK untuk judicial review."
Namun, Boyamin belum mengajukan grasi lagi atas nama Suud. Dia menilai suasana saat ini tidak tepat untuk meminta grasi atas terpidana kasus pembunuhan itu.
Boyamin juga mengadukan Kejaksaan Agung melanggar Pasal 3 dan Pasal 13 Undang-Undang Grasi. Isi Pasal 3 yaitu "Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati."
Lalu Pasal 13 menyebut "Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana."
Dia mengatakan jaksa wajib memberitahu hak dan kewajiban narapidana sebelum dieksekusi. "Anda akan dieksekusi mati, apakah ingin mengajukan grasi atau tidak?" Kata Boyamin mencontohkan hal yang seharusnya dilakukan jaksa.
Empat terpidana mati kasus narkoba yang ditembak pada akhir Juli yaitu Freddy Budiman (WNI), Humprey Ejike (Nigeria), Michael Titus (Nigeria), dan Seck Osmane (Nigeria).
Pengacara Osmane, Farhat Abbas, mengajukan grasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu, 27 Juli 2016. Sedangkan surat permohonan grasi Ejike diterima pada 25 Juli 2016. Jaksa mengeksekusi mereka sebelum Presiden Joko Widodo mengeluarkan keputusan menolak atau menerima pengampunan mereka.
REZKI ALVIONITASARI