TEMPO.CO, Yogyakarta - Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan jumlah penduduk miskin di daerah ini naik karena inflasi yang tidak stabil. Naiknya jumlah penduduk miskin dihitung satu semester atau dari September 2015 ke Maret 2016.
Jumlah penduduk miskin di DIY pada Maret 2016 sebanyak 494.940 ribu atau naik 9.380 dibanding September 2015 sebanyak 45.560 orang. Sedangkan, pada Maret 2015 jumlah penduduk miskin sebanyak 550.230 orang. Bila dibandingkan dengan Maret 2016, jumlah penduduk miskin turun sebanyak 55.290 orang.
Kepala BPS DIY, Bambang Kristianto, mengatakan terjadi fluktuasi jumlah penduduk miskin pada periode itu sejalan dengan angka inflasi yang tidak stabil. Inflasi pada Maret 2015 ke Maret 2016 sebesar 3,69 persen dan inflasi pada September 2015 ke Maret 201 sebesar 1,56 persen.
Penduduk miskin tersebar di perkotaan sebanyak 60,15 persen dan perdesaan 39,85 persen. Bambang mengatakan persoalan kemiskinan bukan hanya dilihat dari jumlah dan persentase penduduk miskin. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah gap atau ketimpangan kemiskinan. “Pertumbuhan ekonomi di Yogyakarta belum menyentuh orang-orang yang berada pada garis kemiskinan,” kata Bambang kepada Tempo, Jumat, 5 Agustus 2016.
Naiknya garis kemiskinan ini terjadi di perkotaan maupun perdesaan. Di perkotaan pada Maret 2016 naik 4,89 persen dibanding Maret 2015. Sedangkan, di perdesaan naik 6,10 persen. Menurut Bambang, garis kemiskinan di daerah ini meningkat sepanjang semester pertama karena inflasi. Garis kemiskinan melihat pengeluaran nilai kebutuhan dasar minimum dan makanan penduduk daerah ini per kapita per bulan pada Maret 2016 sebesar Rp 354.084.
Sedangkan, pada Maret 2015 sebesar Rp 335.886 per kapita per bulan atau naik 5,42 persen. Bila dibandingkan dengan September 2015 terjadi kenaikan garis kemiskinan sebesar 1,83 persen. “Inflasi dan menurunnya daya beli petani menjadi penyebabnya,” kata Bambang.
Garis kemiskinan menggambarkan nilai kebutuhan dasar minimum. Menurut Bambang sumbangan terbesar garis kemiskinan adalah makanan. Ada lima komoditas yang memberikan kontribusi paling besar terhadap meningkatnya garis kemiskinan di perkotaan. Komoditas itu yakni beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, dan mie instan.
Di perdesaan, lima komoditas makanan yang menyumbang adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, dan gula pasir.Sedangkan, untuk non-makanan yang menyumbang garis kemiskinan di perkotaan maupun perdesaan yakni biaya perumahan, bahan bakar minyak, dan listrik.
Mereka yang berada pada garis kemiskinan, kata Bambang merupakan orang-orang yang berada pada situasi rawan pangan. Kondisi sosial ekonomi mereka tergolong miskin dan sulit untuk diangkat. “Mereka orang-orang tersingkir pada lapisan paling bawah,” kata Bambang.
Penggagas pertanian terpadu Joglo Tani, To Suprapto, mengatakan sebagian petani daya beli menurun karena mereka memanen dan menggunakan produk pertanian mereka. Di antaranya beras dan sayuran. “Sebagian petani berdaulat untuk pangan,” kata To Suprapto.
Sebelumnya, Bank Indonesia Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan kegiatan usaha di daerah ini pada triwulan dua pada 2016 menurun dibanding triwulan sebelumnya. Penyebabnya adalah lemahnya permintaan barang dan jasa dari pasar domestik. “Kecenderungannya belum membaik,” kata Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia DIY, Hilman Tisnawan.
Hilman mengatakan untuk sektor pertanian misalnya, konsumsi untuk produk pangan cenderung stagnan. Kuliner di daerah ini berkembang. Tapi, tidak ada ekspansi yang baru pada kegiatan usaha. Permintaan produk pertanian, misalnya hasil-hasil perkebunan coklat juga belum meningkat. Ini terjadi seiring dengan menurunnya permintaan dari masyarakat dengan penghasilan yang belum stabil.
Survei Kegiatan Dunia Usaha digunakan untuk melacak produk domestik bruto dengan survei. Dengan kata lain, survei itu untuk melihat kegiatan ekonomi pada kuartal pertama dan memperkirakan kuartal berikutnya.
SHINTA MAHARANI