TEMPO.CO, Boyolali - Duduk tanpa alas di belakang panggung utama ritual Tungguk Tembakau, Temin tampak gelisah. Namun, kegelisahan lelaki berkostum Gatutkaca itu bukan karena grogi lantaran baru sekali kelompok jathilannya diminta berpentas di hadapan sejumlah pejabat nasional.
Pada menit-menit terakhir menjelang pentasnya, lelaki berkumis lebat dengan riasan yang semakin menonjolkan kegarangan itu masih menerka-nerka berapa harga tembakau yang akan ditetapkan pihak industri rokok yang biasa membeli hasil panen para petani di desanya. “Hasil panen tembakau kali ini sepertinya jauh dari harapan,” kata Temin, 42 tahun.
Temin adalah satu dari 35 penari yang tergabung dalam kelompok Budi Suko Rahayu asal Dukuh Sengon, Desa Senden, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Siang itu, Rabu 3 Agustus 2016, jathilan Budi Suko Rahayu didapuk sebagai pengisi acara utama seusai ritual tungguk atau petik perdana panen tembakau. Ritual tungguk tembakau adalah tradisi turun temurun para petani di lereng Gunung Merbabu wilayah Boyolali.
Ritual sebagai wujud syukur sebelum memulai panen tembakau itu biasa dilakukan para petani secara individu. Berkat kolaborasi Sivitas Akademika Universitas Indonesia dengan masyarakat Desa Senden, ritual tahun ini dilaksanakan secara serentak sehingga lebih meriah. “Di sini kami bukan sekadar menghibur, tapi juga turut merayakan tungguk (petik perdana). Karena kami semua juga petani tembakau,” kata Temin.
Menurut dia, jathilan yang akan dia pentaskan hanya memberikan hiburan sesaat. “Seusai acara, petani tembakau akan teringat lagi pada anjloknya hasil panen dan jebloknya kualitas tembakau karena dampak fenomena cuaca kemarau basah,” kata Temin.
Menurut Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Boyolali, Widodo, tingginya curah hujan selama ini diprediksi menurunkan produktivitas tembakau hingga sekitar 30 persen. Dalam kondisi cuaca normal, satu hektare lahan bisa menghasilkan sekitar 9 - 10 kuintal tembakau kering. Adapun saat ini diprediksi turun menjadi 6 - 7 kuintal tembakau kering. “Tahun lalu, tembakau rajangan kering harganya sampai Rp 80 ribu per kilogram,” kata petani asal Dukuh Gunungsari, Desa Sanden, Yoto Mulyono.
Yoto memprediksi harga tembakau rajangan kering dari panen kali ini merosot jadi Rp 60 ribu per kilogram. Sebab, tingginya kadar air pada tembakau menurunkan kadar nikotin. Dia menambahkan, selama ini petani hanya bisa pasrah pada harga yang ditetapkan pihak industri rokok. “Petani tidak punya posisi tawar saat berhadapan dengan industri rokok dalam menentukan harga tembakau,” kata Yoto. Dia berharap pemerintah bisa turut mengentaskan masalah tersebut yang selama ini merundung petani tembakau.
Kendati hasil panennya menyusut, petani tembakau di Desa Senden masih bisa tersenyum lega lantaran Pemerintah Kabupaten Boyolali berjanji tidak akan menerbitkan Peraturan Daerah yang bersifat anti-tembakau. “Enam puluh persen produk rokok Temanggung itu dipasok dari Boyolali. Bahkan Bupati Boyolali (Seno Samodro) bilang akan membuat gudang tembakau sendiri,” kata Ketua Komisi IV DPRD Boyolali, Ribut Budi Santoso saat memberi pidato sambutan dalam ritual tungguk tembakau.
Selain itu, Pemkab Boyolali kini juga tengah berfokus menggarap Kecamatan Selo yang berada di lereng Gunung Merapi dan Merbabu sebagai pusat destinasi wisata. “Lomba lari ekstrim Kebut Gunung Merapi pada Ahad, 7 Agustus, itu bertujuan untuk mengenalkan kawasan obyek wisata Selo,” kata Kabid Humas dan Protokoler Setda Boyolali, Wilis Tri Siwi Handayani.
DINDA LEO LISTY