TEMPO.CO, Semarang - Meski berbagai upaya telah dilakukan, siswa SMK 07 Semarang, Zulfa Nur Rahman, yang menganut aliran kepercayaan, tetap tak bisa naik kelas. Ombudsman RI Kantor Perwakilan Jawa Tengah sudah menggelar mediasi dua kali untuk membantu Zulfa agar naik kelas tapi pihak sekolah tetap tak mau mengubah keputusannya.
“Pihak sekolah beralasan karena regulasi memang belum mengatur soal penganut kepercayaan,” kata Kepala Ombudsman RI Kantor Perwakilan Jawa Tengah Achmad Zaid kepada Tempo, Kamis, 4 Agustus 2016.
Zulfa tidak bisa naik kelas karena menolak mengikuti pelajaran agama Islam. Dia menolak karena dia penganut aliran penghayat kepercayaan. Ombudsman sudah menggelar dua kali mediasi. Bahkan mediasi yang kedua dilakukan dengan melibatkan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendikbud Nomor 53 Tahun 2015 tentang Panduan Penilaian Siswa, peluang pendidikan untuk siswa penghayat kepercayaan tak ada.
Zaid menyatakan pihak pengelola SMK 7 dan Dinas Pendidikan bersikukuh untuk menaati Pasal 12 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang hanya menyebut agama, bukan aliran kepercayaan.
Zaid menilai hingga kini negara tak memfasilitasi penghayat kepercayaan untuk sekolah formal. Malahan, negara melakukan diskriminasi karena siswa harus mengikuti salah satu agama yang disahkan pemerintah untuk memenuhi nilai pendidikan agama.
Padahal, kata Zaid, negara harus hadir untuk semua golongan, agama serta aliran kepercayaan dan keyakinan. Kasus Zulfa menunjukkan negara tidak hadir untuk para siswa penganut aliran kepercayaan.
Ombudsman Jawa Tengah akan menyampaikan masalah ini ke Ombudsman pusat agar ditindaklanjuti ke Kementerian Pendidikan Nasional. Targetnya, sekolah bisa mengakomodasi pelajaran untuk siswa penganut aliran kepercayaan. “Agar kasus Zulfa-zulfa lain tidak akan terulang,” kata Zaid.
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Tengah Nur Hadi Amiyanto mengaku telah melaporkan masalah ini ke Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hasilnya, Dinas Pendidikan tetap bersikukuh pada keputusannya sesuai dengan perundang-undangan. ”Ke depan memang harus dicari solusi agar anak penghayat kepercayaan bisa mengenyam pendidikan di sekolah formal,” katanya.
ROFIUDDIN