TEMPO.CO, Jakarta - Tiga bekas pemeriksa pajak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga, yakni Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho, dan Slamet Riyana, didakwa melakukan pemerasan terhadap PT EDMI Indonesia.
Ketiganya diduga meminta "uang capek" dalam pengabulan restitusi pajak PT EDMI. Kasus ini terungkap setelah Direktur PT EDMI, Ratu Febriana Erawati, mengadukan pemerasan itu lewat jejaring sosial Twitter.
"Pada 13 Maret 2014 Ratu menulis keluhannya di Twitter dengan akun @aie_ratu yang ditujukan kepada @DitjenPajakRI," kata jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Hendra Eka Saputra, ketika membacakan surat dakwaan di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, 3 Agustus 2016.
Kasus ini bermula pada 18 Maret 2013, ketika PT EDMI mengajukan permohonan restitusi atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Masa Februari 2013, karena berdasarkan hasil audit keuangan perusahaan, terdapat kelebihan bayar sebesar Rp 2,3 miliar.
Kemudian pada 2 April 2013, PT EDMI mengajukan permohonan restitusi atas Pajak Penghasilan (PPh) Badan Masa Tahun 2012, karena berdasarkan hasil audit perusahaan, terdapat kelebihan bayar sebesar Rp 834 juta.
Atas dua permohonan itu, pada 17 Juli 2013 Kepala Kantor Pajak Pratama Jakarta Kebayoran Baru Tiga, M. Agus Budisantoso, menunjuk Herry selaku Ketua Kelompok Pemeriksaan. Adapun Indarto ditunjuk sebagai Ketua Tim Pemeriksaan dan Slamet sebagai anggota tim.
Tim itu lantas mulai memeriksa dokumen dan meminta keterangan pegawai PT EDMI pada 30 Juli 2013. Lima bulan kemudian, Herry menelpon Wakil Presiden Direktur sekaligus Kepala Divisi Keuangan PT EDMI, Andriyanto, agar bertemu di MM Juice, Kebayoran Baru.
Dalam pertemuan itu, Herry meminta "uang capek" sebesar 15 persen atau sekitar Rp 450 juta, dari jumlah restitusi PPN dan PPh sebesar Rp 3 miliar.
Pada 14 Maret 2014, restitusi itu dikabulkan. Kepala Kantor Pajak Pratama Kebayoran Baru Tiga menandatangani Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atas PPN PT EDMI senilai Rp 2,3 miliar. Adapun Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan PPh Badan Masa Tahun 2012, diterbitkan dengan menyatakan ada kelebihan bayar Rp 707 juta.
Atas pengabulan itu, Herry meminta "uang capek" 5 persen dari total restitusi, yaitu Rp 150 juta. Adapun Indarto dan Slamet mengancam PT EDMI tidak akan bertahan lama kalau tidak memberikan "uang capek" itu.
Pada 26 Maret 2014, Ratu menemui tiga pemeriksa pajak itu. Herry lantas meminta Ratu mencatatkan "uang capek" sebagai pembelian resmi sehingga mudah melakukan pembukuan.
Penyerahan uang dilakukan di Restoran Bale Raos, Kebayoran Baru, Jakarta, pada 3 April 2014. Ratu membawa cek senilai Rp 75 juta. Dua tahun setelahnya, pada 11 Maret 2016, KPK menetapkan Herry, Indarto, dan Slamet, sebagai tersangka pemerasan.
Dalam persidangan, tiga bekas pemeriksa pajak itu didakwa dengan Pasal 12 e atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu Kitab UU Hukum Pidana. Pasal-pasal itu mengatur tindakan pemerasan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara secara bersama-sama.
Adapun pengacara tiga terdakwa itu, Sahat Harahap dan Syafuan, mengatakan tidak akan memberikan eksepsi. "Silakan langsung saja ke agenda pemeriksaan saksi," kata Sahat di persidangan. Ketua majelis hakim Yohahes Priyatna menutup sidang dan akan melanjutkan sidang pada Senin, 8 Agustus 2016.
MUHAMAD RIZKI