TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung mengadakan pelatihan bagi 164 hakim untuk menjadi hakim dengan sertifikasi lingkungan hidup. Pendidikan dan pelatihan ini kerja sama dengan Program UNDP REDD+ Indonesia dan dukungan pemerintah Norwegia.
"Gelombang pertama pelatihan dilaksanakan pada 27 Juli hingga 6 Agustus 2016 dan gelombang kedua pada 18-31 Agustus 2916," kata Hakim Agung Prof Dr Takdir Rahmadi. Kegiatan itu dilakukan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Diklat MA di Ciawi, Bogor.
Saat ini, ada sekitar 8.000 hakim di Indonesia. Menurut Takdir, yang menjabat Ketua Kelompok Kerja Lingkungan Hidup Nasional MA, sebagian besar dari mereka untuk bidang tindak pidana korupsi, perikanan atau maritim, niaga, anak, dan lain-lain.
Takdir yang menjabat Ketua Kamar Pembinaan MA menjelaskan, baru 403 hakim yang tersertifikasi lingkungan atau 5 persen dari jumlah hakim. “Kami mengalokasikan dana untuk menambah hakim tersertifikasi lingkungan sebanyak 80 hakim setiap tahun,” ujarnya.
Dalam siaran pers yang dikirim Program UNDP REDD+ pada Sabtu, 30 Juli 2016, pembukaan pendidikan dan pelatihan dilakukan Ketua Mahkamah Agung Prof Dr Muhammad Hatta Ali. Turut hadir dalam acara 27 Juli 2016 itu Christophe Bahuet, Country Director UNDP Indonesia.
Hatta Ali menjelaskan, persoalan lingkungan hidup muncul disebabkan oleh lemahnya substansi struktur dan kultur hukum lingkungan hidup yang ada. Hal itu ditandai dengan masih banyaknya ketentuan peraturan perundang-undangan yang multitafsir.
Lemahnya struktur hukum diindikasikan oleh masih kuatnya kebijakan yang pro-investasi tapi merugikan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Hal ini akibat belum satunya pemahaman, persepsi, dan langkah di antara para pemangku kepentingan lingkungan hidup, termasuk penegak hukum.
Sedangkan lemahnya kultur hukum, kata Hatta Ali, diindikasikan oleh lemahnya tingkat ketaatan pelaku usaha dan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Hatta Ali mengatakan, secara substansi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup didesain untuk merespons kelemahan undang-undang sebelumnya. Termasuk perkembangan lingkungan hidup ke depan serta isu-isu yang terkait
perubahan iklim dan keanekaragaman hayati.
Pendidikan dan pelatihan hakim lingkungan hidup ini, ujar dia, dilandasi pemikiran bahwa pengadilan sebagai salah satu instrumen penegak hukum memiliki tanggung jawab untuk memastikan penegakan hukum lingkungan hidup dan sumber daya alam yang baik berjalan di Indonesia.
"Sehingga perlu ditangani secara khusus oleh institusi pengadilan yang memahami urgensi dan signifikansi perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Hal ini untuk meningkatkan efektivitas penanganan perkara lingkungan hidup di pengadilan sebagai bagian dari upaya perlindungan lingkungan hidup dan pemenuhan rasa keadilan," kata Hatta Ali.
Christophe Bahuet menjelaskan, pendidikan dan pelatihan ini akan memberikan kontribusi dengan meningkatkan kapasitas hakim untuk mengawasi proses hukum atas kejahatan kehutanan dan sumber daya alam.
"Sertifikasi lingkungan hidup membuat para hakim lebih siap untuk memberikan putusan dan membuat putusan mereka lebih mungkin diterima masyarakat," kata Bahuet.
Program UNDP REDD+ aktif bekerja sama dengan lembaga-lembaga kunci, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bahuet mengatakan kerja sama itu ditingkatkan setelah kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun lalu menimbulkan kerugian ekonomi, lingkungan, dan kemanusiaan.
UWD