TEMPO.CO, Denpasar - Puluhan ribu warga Bali melakukan demonstrasi menolak reklamasi Teluk Benoa. Kali ini, jumlah pasubayan desa adat tolak reklamasi Teluk Benoa berjumlah 39 desa. Dua desa adat yang melaksanakan deklarasi pada hari ini, yaitu Desa Adat Sumerta dan Desa Adat Tanjung Bungkak.
Aksi demo ini berlangsung selama tiga jam. Massa melakukan long march mengelilingi kawasan Desa Adat Sumerta sehingga akses jalan raya lumpuh total. Saat melakukan orasi, Bendesa Adat Tanjung Bungkak, Ketut Suweden, mengatakan aksi ini merupakan kewajiban desa adat untuk membela kawasan suci Teluk Benoa dari rencana reklamasi.
"Saya sangat jengah dengan apa yang ingin dilakukan investor di Teluk Benoa. Sudah sekian kali terus demonstrasi, dari timur sampai barat, dari utara sampai selatan kita tunjukan perjuangan menegakkan kesucian," katanya saat orasi, Minggu, 31 Juli 2016.
Bendesa Adat Sumerta, Wayan Butuantara, menjelaskan aksi kali ini merupakan sejarah bagi warga Desa Adat Sumerta. "Pada kesempatan yang baik ini, melalui paruman (rapat), kami menolak reklamasi. Dari aspek kontekstual Teluk Benoa adalah kawasan suci, campuhan agung pertemuan air laut dan sungai," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa kawasan Teluk Benoa adalah implementasi dari Tri Hita Karana. Menjaga kesucian laut, tutur dia, adalah upaya penting untuk meneruskan setiap upacara keagamaan Hindu di Bali. "Ada banyak kegiatan ritual kita di pantai, yaitu nganyut, melukat, dan melasti," tuturnya.
Butuantara menegaskan bahwa jika proyek PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) jaringan bisnis milik taipan Tomy Winata itu berjalan, sama saja menghancurkan kawasan ritual umat Hindu di Bali.
"Ini jelas mengorbankan Hindu Bali karena Teluk Benoa memiliki keseimbangan hidup. Kami berdasarkan paruman agung (rapat besar) menolak dalih apapun termasuk dalih revitalisasi," katanya.
Adapun Ketua Pasubayan Desa Adat Tolak Reklamasi, I Wayan Swarsa, dalam orasinya menjelaskan deklarasi Desa Adat Sumerta dan Tanjung Bungkak mengingatkan masyarakat Bali pada perjuangan 110 tahun silam.
"Pada 1906 di tempat yang kita pijak ini Puri Badung menjaga dari ancaman kolonialisme Belanda," katanya. "Puluhan ribu orang setiap minggu berjalan di bawah terik matahari membawa jiwa desa adat melawan ketidakpatutan reklamasi."
Ia menjelaskan semakin besar gelombang perlawanan, gerakan menolak reklamasi semakin dihujani fitnah. "Ada tudingan pecalang se-Bali mendukung reklamasi. Ini menghina jiwa adat Bali," ujarnya.
Menurut dia, yang lebih memprihatinkan lagi, di Bali ada salah satu koran lokal yang menjadi corong investor terus-menerus menghujani fitnah pada gerakan perlawanan menolak reklamasi.
BRAM SETIAWAN