TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Menolak Hukuman Mati menyatakan eksekusi mati gelombang III yang dilaksanakan dua hari lalu adalah ilegal.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus A.T. Napitupulu, menilai Jaksa Agung telah lalai memenuhi hak dari terpidana mati gelombang III. Hal ini dilihat dari tak adanya keputusan presiden yang menyatakan penolakan grasi yang diajukan.
"Jika grasi itu ditolak, maka terpidana mati harus pegang kepres penolakan grasi sebelum dia dihukum mati," ucap Erasmus di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Ahad, 31 Juli 2016.
Peneliti dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Muhammad Afif Abdul Qoyim, adalah salah seorang yang mendampingi terpidana mati Humprey Ejike. Ia mengatakan telah mendaftarkan grasi Jeff, panggilan akrab Humprey, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 Juli 2016.
Keesokan harinya, Jeff dibawa dari Lembaga Pemasyarakatan Batu ke ruang isolasi. Pada pukul 15.40, dia mendapatkan pemberitahuan bahwa Jeff akan dieksekusi. "Jeff diberi tahu rencana pelaksanaan hukuman mati tapi surat itu tidak ditandatanganinya," kata Afif.
Afif tak mendengar kabar lagi setelah itu. Baru pada pukul 02.00 WIB, dia mendapatkan kabar bahwa Jeff telah dieksekusi bersama dengan tiga terpidana lain. "Sampai detik dia ditembak, dia tidak mendapatkan informasi apakah grasi diterima atau ditolak," katanya.
Selain tak adanya grasi, para terpidana mati juga tak diberi waktu 3 x 24 jam sejak diumumkan hingga dieksekusi sebagaimana mestinya. Padahal, waktu tiga hari itu bisa digunakan terpidana untuk mengajukan upaya hukum yang tersisa. "3 x 24 jam itu bukan main-main!" kata Erasmus.
Eksekusi mati untuk terpidana narkotika dilakukan di LP Nusakambangan pada Jumat dinihari, 29 Juli 2016. Dari 14 terpidana yang direncanakan akan dieksekusi, hanya empat yang dieksekusi. Keempat orang itu adalah Freddy Budiman, Seck Osmane, Michael Titus Igweh, dan Humprey Ejike.
MAYA AYU PUSPITASARI