TEMPO.CO, Bandung - Pemerintah Republik Indonesia dinilai kalah terus melawan perdagangan gelap narkoba. Selama 40 tahun sejak terbitnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, bisnis narkoba di Indonesia terus berjalan. Penangkapan pengguna hingga eksekusi mati bandar tidak membuat jeri sindikat pasar gelap narkoba.
Penulis buku War on Drugs Patri Handoyo mengatakan, selama ini pemerintah gencar melakukan perang terhadap narkoba. Seperti terjadi pada beberapa negara lain di wilayah Amerika Selatan, dana perang melawan sindikat narkoba terhitung besar hingga mereka dibantu Amerika Serikat. Namun hasilnya, peredaran narkoba tak pernah mati.
Alih-alih melindungi masyarakat, pelarangan narkoba justru sangat menguntungkan sindikat. “Kita tahu pelarangan tersebut memunculkan pasar gelap. Kami mengusulkan berdasarkan fakta-fakta tersebut, bagaimana kalau kebijakannya bukan pelarangan, tapi pengaturan atau tata kelola narkoba dengan skema kesehatan,” kata konsultan media dan data organisasi Rumah Cemara di Bandung itu kepada Tempo, Jumat, 29 Juli 2016.
Pelarangan selain menggairahkan bisnis pasar gelap narkoba, ikut membuat orang penasaran untuk menjajal narkoba hingga kecanduan. “Kalau teorinya benar, kampanye anti narkoba akan membuat takut, tapi buktinya nggak,” ujarnya.
Patri mencontohkan kecubung yang punya zat psikoaktif seperti narkoba. “Tidak dilarang kan, juga tidak banyak yang minat,” ujarnya. Adapun pada kasus tanaman khat yang mengandung zat seperti amfetamin pada narkoba, setelah dilarang membuat banyak orang menjadi tahu dan ramai berburu hingga harganya terdongkrak.
Pasar gelap selama ini membuat harga narkoba melilit pecandu. Kandungan dan racikan narkobanya pun tak jelas. Di sisi lain, narkotika dan obat-obatan yang dilarang itu punya fungsi medis bagi pasien dengan takaran dan dosis tertentu oleh dokter.
“Ketika heroin misalnya dikuasai sindikat, mereka bisa meracik apa saja dengan harga seenaknya. Keuntungan sindikat bisa berlipat-lipat dengan produksi murah tapi dijual mahal,” kata dia. Selain itu, pengetahuan atau cara membuat narkoba tersedia mudah di Internet sehingga bisnis pasar gelap terus berkelanjutan dan berbahaya.
Pengaturan atau tata kelola narkoba oleh pemerintah, kata Patri, dikhususkan bagi para pecandu narkoba untuk mengurangi beban ekonomi dan dampak kesehatannya. “Bukan untuk penyembuhan dan menghentikan narkoba, hanya mengalihkan dari jalanan (pasar gelap) ke fasilitas kesehatan dengan harga dan kandungan yang jelas,” ujarnya.
Angka pengguna narkoba yang sering disampaikan pemerintah maupun Badan Narkotika Nasional, kata Patri, adalah empat juta orang Indonesia. Pemakai yang rutin hanya beberapa persen, kebanyakan adalah mereka yang coba-coba. “Dengan negara menguasai pasar narkoba dan harganya murah, akan tidak ada lagi yang berbisnis narkoba karena tidak menguntungkan,” kata dia. Misalnya harga narkoba jenis sabu-sabu yang jutaan rupiah untuk 1 gram, pemerintah bisa membanderol Rp 50 ribu sesuai harga produksinya.
Perhitungannya, dengan harga narkoba yang lebih murah di fasilitas kesehatan, sindikat narkoba akan kehilangan konsumen hingga kerajaan bisnisnya di pasar gelap akan runtuh. Legalisasi narkoba di fasiltas kesehatan khusus, kata Patri, pada beberapa negara berdasarkan sejumlah kajian tidak terbukti meningkatkan jumlah pengguna narkoba.
Swis dan Amerika Utara yang melegalkan heroin, hanya melayani para pecandu. Pengguna baru pun tak lantas merebak. Begitu pula legalisasi ganja di luar skema kesehatan namun sebagai rekreasional di kedai kopi Belanda misalnya. “Pengguna sempat meningkat lalu turun karena ganja tidak mahal dan gaya lagi, ada perubahan minat setelah kebijakan itu,” ujarnya.
Legalisasi narkoba di fasilitas kesehatan, menurutnya, bukan liberalisasi. Pemerintah yang mengelola pun tidak perlu mempromosikannya seperti iklan.
ANWAR SISWADI