TEMPO.CO, Surabaya -Perasaan bangga dan haru dirasakan Alfian Andhika Yudhistira, 18 tahun, setelah menerima kabar ia diterima menjadi Universitas Airlangga Surabaya tahun ini. Ia tuna netra pertama yang berhasil menjadi mahasiswa perguruan tinggi itu. Fian, begitu dia biasa dipanggil, mengikuti seleksi tanpa perlakuan khusus.
"Sebelumnya saya sudah coba ikut tes Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), nggak lolos. Lalu ikut Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), nggak lolos juga," katanya saat ditemui Tempo di Komunitas Mata Hati Surabaya, Kamis, 28 Juli 2016.
Padahal, ia telah menyertakan berbagai sertifikat dan penghargaan tingkat internasional sebagai bahan pertimbangan. Fian mewakili Indonesia dalam kompetisi Global IT Challenge se-Asia Pasifik pada 2015, setelah meraih juara ke-2 di tingkat nasional untuk kategori e-design group. Ia juga meraih juara pertama Olimpiade Sains Nasional untuk pelajaran Matematika tingkat Jawa Timur pada tahun yang sama.
Remaja asli Surabaya itu makin gemas karena teman-temannya yang biasa-biasa saja, justru lolos. "Padahal mereka nggak punya bukti sertifikat prestasi."
Perjuangannya tak surut. Sebaliknya, kegagalannya membuat dia penasaran untuk mencari tahu apa yang membuat seorang difabel alot masuk perguruan tinggi negeri.
Fian lalu memperoleh kesempatan bertemu dengan Wakil Dekan III FISIP Unair, Myrtati Dyah Artaria. Fian pernah menjadi pembicara dalam peluncuran website www.makinpintar.com, hasil kolaborasi Pusat Pengembangan Teknologi dan Sistem Informasi (PPTSI) Universitas Airlangga dengan PT Jaringan Pintar Indonesia (JPI) pada Januari 2016. "Saya sekalian sosialisasi waktu itu, bahwa tuna netra itu mampu dan bisa mandiri."
Dari pertemuan dengan beberapa pejabat Unair, Alfian seakan mendapat jawaban atas rasa penasarannya selama ini. "Ternyata mereka takut diminta perpustakaan braille jika menerima mahasiswa difabel tuna netra seperti saya."
Remaja kelahiran 30 Oktober 1997 itu pun segera menjelaskan bahwa kini tuna netra tak lagi menggantungkan diri pada braille karena tak efektif. Satu halaman artikel dengan huruf normal bisa menjelma menjadi lima lembar kertas dengan huruf braille. "Padahal, kami sekarang bisa pakai aplikasi screen reader. Nanti diterjemahkan oleh aplikasi Jaws yang mengubahnya jadi suara," ujar dia.
Setelah berhasil meyakinkan, Alfian dipersilakan mengikuti tes masuk jalur mandiri. Ia juga diminta membuat surat pernyataan agar tak menuntut fasilitas khusus atau diistimewakan apabila kelak diterima sebagai mahasiswa Unair. Selama 125 menit, seorang pendamping membacakan ratusan soal Tes Kemampuan dan Potensi Akademik (TKPA) dan Sosial Humaniora. "Alhamdulillah, akhirnya diterima masuk."
Karena berasal dari jurusan IPS saat SMA, Alfian memilih kuliah di Program Studi Antropologi. Alasannya, ia lebih menggemari mata pelajaran sejarah, Bahasa Indonesia, dan sosiologi. Sedangkan ia mengaku tak suka dengan hal-hal yang berurusan dengan angka-angka dan gambar. "Soalnya guru Matematikaku diskriminatif, nggak mau mengajarkan secara jelas kepada anak tuna netra seperti saya," ujar alumnus SMAN 8 Surabaya itu, lalu tergelak.
Fian mengatakan tak sabar ingin segera memasuki masa perkuliahan nanti. Putra pasangan Agus Priyonggo Warsito dan Sri Wahyuningsih itu bertekad untuk menjalin pertemanan seluas-luasnya di universitas, dari berbagai kalangan. "Pokoknya nanti kalau diajak jalan-jalan teman, mau ikut. Biar sosialisasi lebih mudah, bahwa tuna netra tidak seperti yang orang-orang kira."
Ia merasakan sikap diskriminatif masih dilakukan lingkungan sekitarnya. Di sisi lain, penyandang tuna netra terkesan terbiasa dengan pola pikir yang bergantung pada pemberian sosial. Akibatnya, banyak yang tak mandiri.
Fian terlihat tak mampu melihat sejak bayi. Saat mengandung, ibunya terkena hydrocepalus dan virus toxoplasma. Meski sempat diobati, virus-virus itu menyerang syaraf janin. "Waktu saya bayi usia tiga bulan, saraf mata saya putus sehingga totally blind sampai sekarang."
Meski begitu, ia tak mau bergantung pada nasib. Pola pikir dan motivasi kuat untuk mandiri melecutnya untuk maju. "Saya sejak SMP sudah suka utak-atik komputer biar bisa, meskipun komputer saya jadi sering rusak," ujar anak keempat dari lima bersaudara itu.
ARTIKA RACHMI FARMITA