TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Ricky Gunawan mengatakan eksekusi terpidana Humprey Jefferson alias Humprey Ejike yang berasal dari Nigeria, tidak sah. "Keputusannya menyalahi dua aturan," katanya saat dihubungi Tempo, Jumat, 29 Juli 2016.
Ricky mengatakan aturan pertama yang dilanggar ialah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Undang-undang tersebut menyatakan permohonan grasi dapat menunda putusan pidana mati. "Humprey telah mendaftarkan permohonan grasi pada 25 Juli 2016 namun ia dieksekusi," katanya.
Ia mengatakan selama putusan grasi belum keluar, pelaksanaan eksekusi mati terhadap Humprey Jefferson tidak dapat dilakukan dan dibenarkan secara hukum. Aturan lain yang dilanggar ialah Undang-Undang Program Nasional Perumusan Standar mengenai Tata Cara Hukuman Mati.
Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa eksekusi hukuman mati dilaksanakan dalam waktu 72 jam setelah notifikasi diberikan. Menurut Ricky, notifikasi eksekusi Humprey baru diterima pada Selasa, 26 Juli 2016. "Seharusnya dilakukan pada 29 Juli 2016 malam," katanya.
Ricky mengatakan pria asal Nigeria tersebut mengalami banyak pelanggaran fair trail (hak atas pelanggaran yang jujur). "Kasusnya direkayasa," katanya.
Humprey, menurut Ricky, dijebak oleh Kelly, terpidana kasus narkoba yang kini sudah meninggal. Sebelum kematiannya, Kelly mengakui penjebakan tersebut dan meminta maaf kepada Humprey. Pengakuannya disaksikan tujuh orang.
Ricky sudah menyerahkan pengakuan Kelly kepada Mahkamah Agung sebagai bukti dalam peninjauan kembali kasus Humprey. Namun MA menilai pengakuan tersebut tidak memiliki kekuatan pembuktian.
"Pertimbangan hukum yang menjadi alasan pemberian pidana mati juga rasis," kata Ricky. Ricky mengutip keputusan tersebut yang berbunyi, “Menimbang bahwa […] orang-orang kulit hitam yang berasal dari Nigeria sering menjadi pengawasan pihak kepolisian”. Ricky menilai pengawasan tersebut tidak berarti Humprey terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Menurut Ricky, beberapa terpidana mati kulit hitam yang ia temui dalam ruang isolasi mengeluhkan tindakan rasis tersebut. "Mereka merasa ditargetkan secara khusus," kata dia. Seck Osmane, kata Ricky, juga sudah mendaftarkan grasi tapi tetap dieksekusi.
Ricky mengatakan eksekusi mati seharusnya dilaksanakan setelah terpidana mati menggunakan hak hukumnya. "Mereka harus dipastikan sudah menggunakan semua hak hukumnya yaitu peninjauan kembali dan grasi," katanya.
Pemerintah memutuskan untuk mengeksekusi 14 terpidana mati kasus narkoba. Dari 14 terpidana tersebut, delapan orang di antaranya berkulit hitam.
Empat dari 14 orang tersebut sudah dieksekusi Jumat dinihari, 29 Juli 2016. Mereka adalah Humprey Jefferson, Seck Osmane, Freddy Budiman, dan Michael Titus.
VINDRY FLORENTIN